Para peneliti itu menemukan bahwa nilai isotop karbon dan nitrogen stabil antara kakatua liar dan penangkaran ternyata berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa kakatua liar dan penangkaran mengonsumsi jenis tanaman dan protein yang berbeda. Para peneliti juga menemukan bahwa isotop yang terkait dengan enam asam amino pada kakatua liar dan penangkaran ternyata juga berbeda secara signifikan.
Baca Juga: Temuan Mumi Burung di Gurun Atacama Chile Singkap Sisi Gelap Manusia
Para petugas penegak hukum dapat menerapkan tes ini pada masa depan. Mereka akan lebih mudah menentukan apakah kakatua jambul kuning yang diperjualbelikan itu hasil tangkapan di alam liar atau hasil di penangkaran.
"Perdagangan satwa liar legal menciptakan peluang untuk penjualan satwa liar yang diperoleh secara ilegal karena sulit untuk membedakan yang legal dari yang 'dicuci'. Masalah ini umum terjadi di banyak area perdagangan satwa liar dan melibatkan berbagai taksa," kata Astrid Andersson, penulis pertama studi tersebut, seperti dilansir EurekAlert.
"Hasil studi kami menunjukkan bahwa SIA, bersama dengan CSIA, menghadirkan alat yang ampuh bagi otoritas pemerintah dalam upaya mereka untuk mengatur perdagangan satwa liar," imbuhnya lagi.
“Penerapan CSIA yang sukses dan baru sebagai langkah validasi sekunder untuk meningkatkan akurasi SIA untuk mendeteksi individu liar vs penangkaran menjanjikan dan menambah volume penelitian yang menunjukkan penerapan teknik isotop stabil dalam forensik satwa liar. Sementara lebih banyak pekerjaan perlu dilakukan untuk memvalidasi SIA sebagai uji forensik yang kuat, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ini adalah jalan yang menjanjikan untuk penelitian lanjutan," pungkas Caroline Dingle.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Burung Beku Bertanduk Berusia 46.000 Tahun di Siberia
Source | : | eurekalert |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR