Nationalgeographic.co.id—Para ahli ekologi dari Laboratorium Forensik Konservasi dari Divisi Penelitian untuk Ekologi dan Keanekaragaman Hayati di University of Hong Kong (HKU) boleh berbangga. Mereka telah menerapkan teknik isotop stabil untuk menentukan apakah burung-burung yang ada dalam perdagangan hewan merupakan hasil penangkaran atau hasil tangkapan liar. Penentuan status ini bisa menjadi bukti kunci yang diperlukan dalam banyak kasus untuk menentukan apakah suatu perdagangan burung legal atau tidak.
Para ahli tersebut telah menerapkan teknik ini pada kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), spesies terancam punah dari Indonesia dan Timor Leste. Menurut International Union for the Conservation of Nature (IUCN), populasi global kakaktua jambul kuning kini kurang dari 2.500 ekor.
Ada larangan global untuk menjebak dan memperjualbelikan burung kakaktua jambul kuning hasil tangkapan liar. Sebab, spesies ini telah terdaftar di Appendix I dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) sejak tahun 2005.
Di Hong Kong, dalam beberapa kasus, penjualan burung hasil penangkaran adalah hal yang legal. Namun begitu, sulit untuk membedakan kakatua hasil tangkapan liar dengan kakatua hasil penangkaran hanya dengan melihatnya dengan mata. Itu artinya, burung kakatua jambul kuning yang ditangkap secara ilegal dapat "dicuci" di pasar legal dengan mengklaim bahwa mereka telah dibesarkan di penangkaran.
Kakatua jambul kuning biasanya dijual sebagai hewan peliharaan di Hong Kong. Astrid Andersson dari Laboratorium Forensik Konservasi melakukan survei pasar burung Yuen Po Street di Mong Kok sejak 2017 hingga 2018. Dia mengamati 33 individu kakatua jambul kuning yang dijual selama periode ini. Ternyata, jumlah impor ilegalnya lebih banyak daripada yang telah diimpor secara legal ke Hong Kong sejak 2005, yakni 10 individu.
Baca Juga: Menteri LHK Menyerukan Penyelamatan Kakaktua Jambul Kuning
Burung-burung ini bisa saja dibiakkan oleh peternak rumahan (yang merupakan wilayah legal abu-abu di Hong Kong); diperdagangkan dari luar negeri (ilegal); atau diambil dari populasi kakaktua jambul kuning yang terbang bebas di Hong Kong (ilegal).
Untuk menentukan apakah burung-burung yang diperdagangkan itu legal atau tidak, diperlukan suatu metode untuk menentukan apakah burung tersebut berasal dari alam atau hasil penangkaran.
Andersson bekerja di bawah pengawasan Caroline Dingle, Direktur Laboratorium Forensik Konservasi. Dia menganalisis isotop stabil (stable isotope analysis/SIA) dan analisis isotop stabil khusus senyawa (compound-specific stable isotope analysis/CSIA) pada bulu kakatua jambul kuining. Artinya, dia menganalisis bulu dari populasi kakatua jambul kuning liar Hong Kong dan bulu dari kakaktua jambul kuning peliharaan milik warga. Tujuannya, untuk melihat apakah perbedaan pola makan burung penangkaran dan burung liar tercermin dalam nilai karbon dan nitrogen.
Tim menerapkan dua alat forensik baru, yakni analisis isotop stabil (SIA) sebagai langkah dasar pertama. Langkah keduanya, isotop stabil khusus senyawa (CSIA) yang menganalisis nilai isotop yang terkait dengan asam amino spesifik.
Para peneliti itu menemukan bahwa nilai isotop karbon dan nitrogen stabil antara kakatua liar dan penangkaran ternyata berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa kakatua liar dan penangkaran mengonsumsi jenis tanaman dan protein yang berbeda. Para peneliti juga menemukan bahwa isotop yang terkait dengan enam asam amino pada kakatua liar dan penangkaran ternyata juga berbeda secara signifikan.
Baca Juga: Temuan Mumi Burung di Gurun Atacama Chile Singkap Sisi Gelap Manusia
Para petugas penegak hukum dapat menerapkan tes ini pada masa depan. Mereka akan lebih mudah menentukan apakah kakatua jambul kuning yang diperjualbelikan itu hasil tangkapan di alam liar atau hasil di penangkaran.
"Perdagangan satwa liar legal menciptakan peluang untuk penjualan satwa liar yang diperoleh secara ilegal karena sulit untuk membedakan yang legal dari yang 'dicuci'. Masalah ini umum terjadi di banyak area perdagangan satwa liar dan melibatkan berbagai taksa," kata Astrid Andersson, penulis pertama studi tersebut, seperti dilansir EurekAlert.
"Hasil studi kami menunjukkan bahwa SIA, bersama dengan CSIA, menghadirkan alat yang ampuh bagi otoritas pemerintah dalam upaya mereka untuk mengatur perdagangan satwa liar," imbuhnya lagi.
“Penerapan CSIA yang sukses dan baru sebagai langkah validasi sekunder untuk meningkatkan akurasi SIA untuk mendeteksi individu liar vs penangkaran menjanjikan dan menambah volume penelitian yang menunjukkan penerapan teknik isotop stabil dalam forensik satwa liar. Sementara lebih banyak pekerjaan perlu dilakukan untuk memvalidasi SIA sebagai uji forensik yang kuat, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ini adalah jalan yang menjanjikan untuk penelitian lanjutan," pungkas Caroline Dingle.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Burung Beku Bertanduk Berusia 46.000 Tahun di Siberia
Source | : | eurekalert |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR