Suhu rata-rata Indonesia tahun 2000 hingga 2100 diperkirakan naik satu derajat celcius, lebih tinggi dibandingkan kenaikan seabad sebelumnya, sebesar 0,65 derajat. Meski hanya satu derajat, dampaknya serius.
"Perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia memicu makin tingginya kenaikan suhu udara," kata Guru Besar Hidrologi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Sudibyakto, Rabu (28/11).
Kenaikan satu derajat celcius tak terjadi merata. Daerah dengan kerusakan lingkungan parah makin tinggi kenaikannya. Naik satu derajat celcius berarti naiknya suhu maksimum dan turunnya suhu minimum sebesar satu derajat. Rentang suhu suatu daerah kian lebar, meningkatkan ancaman masyarakat.
Peningkatan suhu juga mengubah pola curah hujan. Bencana hidrometerologi, seperti banjir, longsor, dan kekeringan, akan sering terjadi. Kepala Pusat perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung Armi Susandi mengingatkan, perubahan iklim akan membuat Sumatra tengah kian basah. Di Aceh, curah hujan makin tinggi.
Curah hujan di Jawa dan Lampung meningkat, tetapi lebih rendah dibandingkan Sumatra. Namun, risikonya lebih tinggi karena wilayah ini padat penduduk dan aktivitas ekonominya tinggi.
Kondisi kebalikan terjadi di Kalimantan yang jadi kian kering. Risiko kebakaran lahan dan hutan meningkat. Kenaikan curah hujan juga terjadi di Nusa Tenggara Timur. Walau ada risiko longsor, jika bisa dikelola dengan baik, akan membuat wilayah kering itu jadi subur.
"Dampak perubahan iklim di seriap daerah unik, sehingga pola adaptasi dan mitigasi di setiap daerah berbeda," kata Armi.
Masyarakat dinilai sudah memahami dampak perubahan iklim dan mampu beradaptasi. "Namun, informasi risiko bencana perlu lebih banyak disampaikan," kata Sudibyakto.
Armi menilai, ketidaksiapan justru pada pemerintah."Konsep menghadapi perubahan iklim di pemerintahan sangat lemah," ujarnya. Infrastruktur mengantisipasi perubahan iklim sangat lemah. Makin pemerintah tidak mau berinvestasi menghadapi perubahan iklim, kerugian ekonomi makin besar.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR