Mesin kendaraan roda dua menderu-deru di sebuah lapangan terbuka. Para pengemudi sengaja membawanya berputar-putar sambil berteriak-teriak. Beberapa ratus meter di sebelah kanan, tampak satu sosok raksasa berwarna keabuan yang bergeming di tempatnya.
Seekor gajah dewasa di bawah pepohonan yang jarang. Selanjutnya, letupan petasan membahana di udara. “Inilah yang terjadi di Suaka Margasatwa Balai Raja, Riau, tempat di mana seharusnya satwa menjadi prioritas utama,” ujar Sunarto, Tiger and Elephant Specialist, WWF-Indonesia.
“Gajah ini diusir agar tak memasuki kawasan yang sudah berubah menjadi lahan sawit di dalam kawasan suaka margasatwa” tekannya sekali lagi.
Itulah video yang hari ini ia tayangkan dalam presentasi berjudul "Konservasi Gajah dan Harimau di Sumatra: Tantangan dan Peluang". Acara ini digelar dalam rangka penandatanganan nota kesepahaman antara Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan WWF-Indonesia di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (14/1).
Konflik gajah dan manusia semakin sering terjadi. “Di Sumatra, bukaan hutan sudah mencapai 70 persen. Ruang gerak gajah dan harimau pun menjadi sempit,” ujar Efransjah, CEO WWF Indonesia.
Untuk mendukung upaya konservasi gajah sumatra atau Elephas maximus sumatrensis, WWF melakukan penelitian DNA berdasarkan sampel fekal (kotoran) gajah untuk memperkirakan jumlah populasi, pemetaan sebaran, pendalaman faktor kekerabatan, serta aspek ekologi lainnya.
Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menambahkan bahwa, “Teknologi molekuler tak hanya dibutuhkan di bidang kedokteran saja, tetapi juga ternyata diperlukan di dalam bidang kehutanan untuk kegiatan forensik dan konservasi.”
Dalam presentasinya Sunarto juga memaparkan soal perkiraan jumlah populasi gajah di Riau yang pada tahun 1985 berangka 1.342 dan pada 2007 menyusut menjadi hanya 210. “Kini status keterancaman gajah dan harimau di Sumatra berdasarkan kriteria IUCN adalah Critically Endangered, selangkah lagi menuju kepunahan,” tegasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR