Alam punya hukumnya. Kita manusia hanya bisa mempelajari karakteristik alam, serta sesedikit mungkin memengaruhi itu. Kita tidak bisa meniadakan suatu bencana, tetapi bisa mengurangi dampak bencananya.
Dampak bencana banjir luas. Prakiraan banjir dan peringatan berperan dalam membantu kesiapsiagaan dan mengurangi kerugian akibat dampak bencana.
Demikian disampaikan Hubert Gijzen, Kepala Kantor UNESCO Jakarta pada pelatihan tentang sistem analisis banjir terpadu yang digelar di Jakarta (15/1). "Waktu dan lokasi pelatihan ini sangat tepat," tuturnya menambahkan.
Di dalam pelatihan tersebut disosialisasikan Integrated Flood Analysis System (IFAS), yang dikembangkan oleh International Centre for Water Hazard and Risk —institusi perwakilan UNESCO kategori II di Jepang—sebagai sarana untuk memprediksi banjir secara efektif dan efisien.
IFAS merupakan salah satu upaya lebih lanjut mengimplementasikan studi tentang Flood Forecast and Warning System (FFWS) di sepuluh negara berkembang di kawasan Asia Pasifik yakni Indonesia, Australia, China, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam.
Program ini akan melakukan analisis ancaman banjir, hingga selanjutnya menentukan pemetaan daerah luapan banjir berdasarkan studi-studi banjir yang sudah ada dan dengan parameter dari 23 variabel yang antara lain curah hujan, debit air sungai.
Iskandar Zulkarnain, Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian dari LIPI juga menyampaikan, bekal informasi dari permodelan ini masih harus diolah dan diintegrasikan dengan berbagai data untuk menghasilkan sistem peringatan dini.
"Membangun suatu sistem perlu integrasi, tidak bisa sektoral, karena memerlukan banyak data," kata Iskandar.
Maka, selain LIPI, peserta pelatihan yang berlangsung selama tiga hari berasal pula dari pihak Balai Besar Wilayah Sungai-Kementerian PU, Pemda, BMKG, dan UNESCO Kantor Jakarta.
Sementara menurut peneliti utama di Puslit Limnologi LIPI, Ignasius Dwi Atmana S., idealnya penanganan banjir di kota terutama Jakarta, dilakukan dengan membuat tempat-tempat penampungan air, karena daerah resapan sudah hilang (tertutup).
"Rekomendasi kami di LIPI adalah menampung kelebihan air, tidak ada solusi lain. Namun hal ini pun cukup kompleks di Jakarta, mengingat lahan sudah habis ditempati," ujar Ignas.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR