Setelah lebih dari 30 tahun mengenal, merintis, dan mengembangkan olahraga panjat tebing Indonesia dengan menjadi salah satu pencetus Deklarasi FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia) pada 1988, yang dikhawatirkan Mamay Salim bukan pada perkembangan olahraga panjat tebing buatan.
“Dari Eiger Climbing Competition 2012, tercatat 11 pemanjat tebing advanced dari Sumatra. Ada lima kompetisi panjat tebing pada Desember 2012. Lumayan banyak Tangerang dua kali, Bogor, Bandung, dan Walikota Cup di Surabaya Walikota Cup. Ini baik bagi calon pemanjat tebing yang saat ini tercatat sekitar 60 mahasiswa,” ujar Mamay Salim yang merupakan angkatan pertama sekolah panjat tebing Skygers pada 1980.
“Yang menarik, komposisi calon pemanjat tebing ini wanita : pria, 60 : 40. Jadi, wanita lebih banyak dari pria!”
Di tingkat nasional dan regional, panjat tebing telah resmi diperlombakan sejak PON 2004 dan SEA Games XXVI/2011 Palembang. Kompetisi panjat tebing khusus untuk prajurit di kesatuan militer dan kepolisian pun telah dimulai sejak 2007, yang bisa pula menjadi sumber petensial atlet nasional.
Latihan panjat tebing bisa dimulai pada usia tujuh tahun. Dengan latihan minimal dua kali per minggu, enam bulan kemudian sudah bisa ikut kejuaraan nasional junior usia 7 – 19 tahun. Olahraga ini menuntut fisik dan mental prima untuk mengatasi tingkat kesulitan pemanjatan, rasa takut, dan olah pikir secara tepat cepat agar mencapai puncak (tujuan) dan tak jatuh ketika memanjat –keselamatan dijamin dengan peralatan dan tata cara tertentu – bisa menjadi bekal pembentukan karakter tangguh, tak mudah menyerah.
Yang paling dikhawatirkan Mamay saat ini adalah kondisi kampus alam panjat tebing seperti perbukitan karst Citatah di Padalarang, Jawa Barat yang memiliki tingkat kesulitan 5.1 – 5.12. Makin tergerus karena usaha tambang untuk dijadikan materal bangunan lantai marmer. Citatah terkenal dengan Tebing 48, Tebing 90 dan Tebing 125 tak saja untuk latihan panjat tebing, tapi “Citatah juga merupakan kampus alam bagi mahasiswa yang mendalami geologi dan hidrologi.
Debit air Situ Ciburuy terus berkurang. Berkebun kini sulit,” papar Mamay yang tergabung dalam KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung) yang peduli pada perubahan ekosistem tebing-tebing di Indonesia yang sudah hampir punah dijadikan lantai marmer dan dampaknya pada panjat tebing.
Gunung Parang di Cihuni, dekat Bendungan Jatiluhur, Purwakarta yang memiliki tiga menara alam dari tingkat kesulitan “mudah” hingga sangat menantang (5.11) mulai diirik. Menurut Mamay, “Gunung Parang yang tersusun dari andesit (batuan beku) punya tantangan tersendiri.”
Berpacu dengan kelestarian pegunungan dan perbukitan, Mamay dan komunitas panjat tebing sedang mengagendakan program vertical rescue nasional sekitar Mei – Juni 2013 di Citatah atau Gunugn Papandayan, Garut Selatan. Optimisme terus dijaga.
Tebing Maros (Sulawesi Selatan), Tebing Siung (DI Yogyakarta), Tebing Harau (Sumatera Barat), atau Gunung Parang dan Citatah. Bukan hanya menawarkan geowisata dari “sekadar” mengagumi saujana (bentang alam) yang menakjupkan. Tebing-tebing itu bisa menjadi tujuan penjelajah dari penjuru dunia.
Mamay, salah satu perintis, brand consultant dan teknik produk perlengkapan petualangan alam Eiger, mengambil namanya dari nama sebuah gunung tebing di Bernese Alps, Swiss. Menurut para pemanjat, tebing utara Eiger itu tebing yang paling sulit ditaklukkan. Mamay merasa beruntung bisa menaklukan dengan selamat.
Nilai dari kampus alam, dan devisa yang bisa dihasilkan dari tebing-tebing dan puncak-puncak yang utuh lestari, jauh lebih besar dari sekadar menggeruskan untuk sekadar bahan bangunan. Sekali berarti, lalu sirna.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR