Nationalgeographic.co.id—Biasanya kita menemukan fosil dari bebatuan ataupun lapisan tanah purba. Namun siapa sangka, tempat yang tidak biasa—bahkan jorok— seperti tinja juga dapat menyimpan sisa makhluk hidup zaman purba.
Fenomena inilah yang dialami peneliti dari Universitas Uppsala, Swedia. Menggunakan teknologi pemindaian sinkrotron mikrotomografi, mereka secara tidak sengaja menemukan sejumlah jasad kumbang tak dikenal dari fosil tinja dinosaurus.
"Fosil tinja terkadang berisi fosil yang sangat awet, mereka seperti peti harta karun," ujar Martin Qvarnstrom kepada Science News. Ia merupakan biolog evolusi Universitas Uppsala yang memimpin penelitian ini.
Fosil tinja ini berbentuk seperti silinder, dengan panjang 17 milimeter dan diameter 21 milimeter. Fosil ini diperkirakan berumur 230 juta tahun yang lalu, atau dari pertengahan zaman Triassic.
Berdasarkan pengamatan, para peneliti menduga bahwa tinja ini berasal dari dinosaurus Silesaurus opolensis. Dinosaurus ini berasal dari zaman Triassic, dan hidup dari 237 hingga 227 juta tahun yang lalu. Silesaurus terbilang kecil dibanding dinosaurus lainnya. Ia hanya memiliki tinggi sekitar 2 meter dan berbobot 15 kilogram. Fosil dinosaurus ini, berikut pula fosil tinjanya, ditemukan di Polandia.
Oleh para peneliti, kumbang ini dinamai Triamyxa coprolithica. Nama genus kumbang ini berasal dari nama zaman Triassic dan kumbang subordo Myxophaga, seperti dilansir dari CNN. Adapun coprolithica merujuk pada "koprolit", sebutan bagi fosil tinja zaman purba. Laporan penemuan ini dirilis dalam situs Current Biology pada 30 Juni 2021. Tajuknya, Exceptionally preserved beetles in a Triassic coprolite of putative dinosauriform origin.
Baca Juga: Ilmuwan Identifikasi Fosil Kumbang Berkaki Katak Berusia 49 Juta Tahun
Penemuan fosil serangga di tinja, terutama yang utuh, boleh terbilang langka. Fosil-fosil serangga lebih umum ditemukan di batu ambar, yang berasal dari resin pohon runjung. Namun, kebanyakan batu ambar yang ditemukan berasal dari 130 juta tahun yang lalu, terbilang "baru" jika dibandingkan fosil Triamyxa.
"Meskipun bukan di batu ambar, keawetan kumbang ini boleh dibilang spektakuler," ujar Paul Sereno kepada Smithsonian Magazine. Sereno merupakan paleontolog University of Chicago yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Tidak main-main, bagian yang rapuh seperti antena dan kaki bahkan masih lengkap. Keutuhan fosil ini membuat para peneliti dapat membandingkannya dengan spesies serangga modern, dan mengklasifikasikannya dengan mudah ke dalam takson serangga. Keturunan modern dari Triamyxa saat ini hidup di lingkungan basah, baik akuatik maupun semiakuatik. Mereka berbentuk seperti kutu dan bergantung kepada alga sebagai sumber makanannya.
Habitat Triamyxa ini juga selaras dengan habitat Silesaurus. Seperti dilansir dari Haaretz, Polandia pada zaman Triassic merupakan daerah rawa.
"Silesaurus memiliki paruh yang mungkin digunakan untuk mematuk serangga dari tanah, layaknya burung modern," ungkap Qvarnstrom dalam rilis persnya. Namun, ukuran Triamyxa terbilang terlalu kecil jika dibandingkan dengan kumbang lain yang hidup di habitat yang sama. Keberadaan sisa kumbang yang lebih besar di kotoran ini peneliti menduga bahwa kumbang-kumbang ini tertelan secara tidak sengaja oleh Silesaurus.
Kemungkinan ini juga didukung oleh Sam Heads, direktur dan kurator PRI Center for Paleontology di University of Illinois Urbana-Champaign. "Ukurannya yang kecil tentunya membantu kumbang-kumbang ini tetap utuh, mengingat mereka kemungkinan besar tertelan bulat-bulat dan tidak dikunyah," jelasnya kepada CNN.
Qvarnstrom sendiri berharap bahwa penelitian ini dapat membuka babak baru terhadap pencarian jasad hewan purba di fosil tinja. Selain berpotensi menyimpan fosil makhluk hidup yang sangat kecil, fosil tinja juga dapat mengungkap sejarah rantai makanan dan evolusinya hingga saat ini.
Baca Juga: Fosil Kumbang dengan Kristal Fotonik Ungkap Evolusi Struktur Warna
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | eurekalert,Nature,current biology,Smithsonian,Science News,Science News for Students |
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR