"Mereka bilang kebanyakan dari kami akan kaya, nyatanya kami justru makin miskin. Tak ada kebaikan yang datang dari minyak,” keluh Mbangtoloum Ngarambé, petani bertubuh tinggi kurus yang menanam kapas, padi, dan sejenis gandum di lapangan di sekitar desanya, Kayrati, di Chad.
Keluhan yang diikuti gerutu dari sesama petani bernama Hubert Nodjimbay. Lelaki ini menyela, “Sejak jam lima pagi desa diselimuti debu yang berasal dari truk-truk. Anak-anak selalu menderita batuk. Namun ketika Anda bicara dengan orang-orang Esso tentang itu, mereka tak dengar.”
Apa yang ESSO, sebutan di wilayah ini untuk ExxonMobil, katakan terhadap masalah itu? Perusahaan itu tak pernah mendengar dengan sungguh-sungguh dan untuk waktu yang lama seperti di lapangan minyak Doba di selatan Chad.
Begitu juga di negara tetangga, Kamerun, yang wilayahnya dilintasi jalur pipa minyak sepanjang 1.067 kilometer pengangkut minyak mentah menuju terminal pengangkutan lepas pantai dekat Kribi. “Ini proyek minyak paling terencana di Afrika,” jelas Miles Shaw, penasihat urusan publik Esso di Chad.
Tanpa ragu, ia memaparkan sejumlah data yang panjang saat berbicara kepada saya. “Lebih dari 6.000 pertemuan warga, 150 orang dipekerjakan di bidang lingkungan dan keamanan,” sebutnya, menjawab pertanyaan saya di sebuah blok kantor buatan di dalam ”KFC,” Komé Five Camp, pusat operasi konsorsium yang seluas kota kecil.
“Proyek ini sangat istimewa. Ada 14.000 pengguna lahan di Chad dan Kamerun yang diajak bernegosiasi dan masing-masing diberi ganti rugi."
Negosiasi-negoisasi itu tampaknya berlangsung berlarut-larut di Danmadja, sebuah perkampungan yang berpenduduk 492 jiwa dekat Komé. Karena pembangunan fasilitas ladang minyak yang telah melenyapkan sebagian lahan dan pohon-pohon buah liar, Danmadja diberikan penghargaan berupa kompensasi kolektif sama halnya dengan pembayaran kepada tiap individu-individu.
Para penduduk telah memutuskan mereka ingin pasar yang menjual barang-barang yang dihasilkan - beras, kacang tanah, gandum,wijen, kacang-kacangan, dan singkong. GTZ mengontrak sebuah kontraktor lokal untuk mendirikan selter baja yang sederhana tetapi memiliki struktur kokoh.
Jika persiapan semua yang dibutuhkan untuk industri minyak Chad dilakukan dengan cermat, begitu juga operasi rutinnya. Sebuah panel yang terdiri dari para pakar internasional menyoroti tajam tentang keterlibatan Bank Dunia dalam proyek ini.
Komite teknis milik pemerintah Chad serta sejumlah LSM asing maupun lokal dengan ketat mengawasi pemanfaatan keuntungan dari minyak, tingkat pencemaran, produksi minyak, gas buangan, pencemaran debu, kompensasi, dan kesempatan kerja yang layak.
Mungkin satu dari sekian banyak lembaga yang paling penting adalah Collège de Contrôle et de Surveillance des Ressources Pétrolières, sebuah komite pengawas yang bekerja untuk mengawasi agar pengeluaran pemerintah tersalur pada keperluan-keperluan prioritas seperti sekolah, rumah sakit, dan jalan.
Konsorsium yang beroperasi di lapangan Doba memiliki komitmen yang tak bisa diubah dengan pemerintah dan Bank Dunia dalam sebuah kesepakatan. Seharusnya kesepakatan ini mengurangi korupsi secara besar, tetapi akankah kesepakatan yang sama tetap berlaku jika konsorsium atau perusahaan minyak lain menemukan cadangan minyak di tempat lain yang layak dieksploitasi di wilayah Chad seluas 128.399.956 hektar?
Atau akankah para peserta kunci dalam pengaturan minyak dan gas bumi mengadaptasi gaya antisosial milik perusahaan-perusahaan minyak lain di Afrika, yang lebih murah bagi pihak perusahaan namun hanya menguntungkan segelintir elite-elite lokal?
Nyatanya, Chad tetap menjadi salah satu negara termiskin di Bumi, dan N’Djamena merupakan satu dari kota terbelakang di Afrika.
(Artikel ini merupakan penggalan dari feature Minyak di Afrika yang kisahnya diterbitkan di National Geographic Indonesia edisi September 2005)
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR