Rabu pagi berlangit biru (3/7) kemarin, ribuan orang menggelayuti jalanan utama Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Mereka merayakan acara beseprah dengan menggelar terpal dan membentang karpet sepanjang kira-kira 500 meter, kemudian duduk mengikuti lajur jalan dengan bersuka cita.
Aneka kudapan dan tumpeng tradisional tersaji siap disantap. Acara tradisi Kasultanan Kutai ing Martadipura ini merupakan salah satu acara dalam rangkaian pesta budaya Erau atau Erau International Folklore and Art Festival. Festival berlangsung mulai 30 Juni hingga 7 Juli 2013.
Aroma masakan menguar bersama irama tingkilan. Dari kudapan putu labuk, tepung beras yang dikukus dan digulung bertabur kelapa parut, sampai gence ruwan (semacam pepes ikan gabus) terhidang membangkitkan selera sarapan.
Namun, ada juga kudapan cenil, lupis, ketan hitam yang diguyur gula merah khas kuliner Jawa. Keanekaragaman kuliner ini tampaknya mengingatkan ragam suku yang menghuni Tenggarong. "Kekayaan Kutai tidak bisa kita lihat," ujar Nueng Ibrahim, penggiat seni keroncong tingkilan khas wilayah ini. "Kekayaan Kutai adalah kemurahan hati warganya."
Menurutnya Kota Tenggarong telah menjadi kawasan mencairnya budaya aneka suku bangsa di Nusantara. Warga Kutai menerima kedatangan mereka dengan keramahan budayanya.
Di ruas jalan Diponegoro, depan Planetarium Jagad Raya, sebuah tenda kuning didirikan khusus untuk para pejabat yang hadir.
Bupati Rita Widyasari, Putra Mahkota Kasultanan Kutai Adji Mohamad Arifin, dan kerabat kasultanan. Selain itu acara ini juga dihadiri Wakil Menteri Kebudayaan Mesir dan para perwakilan organisasi internasional tentang festival adat dan seni budaya (CIOFF).
Tampaknya, ada saja kelompok yang tak sabar dan berebut untuk segera mencicipi aneka hidangan itu. Suasana riang nan semarak beseprah pun telah dimulai. Bahkan, sebelum para pejabat hadir untuk meresmikan pembukaan acara, sebagian kelompok telah selesai menikmati hidangan yang menggelorakan selera sarapan itu.
Beseprah merupakan tradisi makan bersama Kasultanan Kutai. "Makan beseprah itu artinya berat sama dipikul, ringan sama dijinjing," ujar Nueng. "Saling menunggu untuk makan bersama-sama. Jangan ingin kenyang sendiri."
Dia mengharapkan kearifan leluhur itu juga diterapkan dalam kehidupan tataran keluarga hingga pemerintahan. "Ilmu di Kutai itu adalah hakikat," ujar Nueng. "Menyajikan segala sesuatunya dengan hakikat."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR