Nationalgeographic.co.id—"Jacatra mempunyai duri di kakinya," ungkap Sultan Agung yang dikutip oleh Martin Pring dalam suratnya pada Maret 1619. Sang Sultan melanjutkan berkata bahwa ia "harus berusaha keras untuk mencabutnya, agar seluruh tubuhnya tidak terancam. Duri ini adalah benteng orang Belanda..."
Menurut catatan Pring, Sultan merasa bahwa VOC "begitu membentengi diri mereka sehingga mereka tidak menghormati raja maupun tanahnya, bahkan malah menantangnya."
Martin Pring (1580–1626) bukan orang Belanda, melainkan penjelajah lautan asal Inggris yang bekerja sebagai pucuk komando angkatan laut untuk VOC. Ia mengabdi kepada kompeni selama 1613-1623, sebelum akhirnya berbakti sebagai perwira kapal perang untuk negeri asalnya.
Entahlah, apakah Pring benar-benar berjumpa dengan Sultan Agung. Namun, isi surat itu begitu menggambarkan kegeraman Sang Sultan. Sekitar satu dekade kemudian, kehendak Sultan untuk menggempur Jacatra pun terlaksana.
"Pada malam hari tanggal 21 September, musuh berusaha mendekati Fort Hollandia dengan kekuatan besar," catat Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen dalam laporannya kepada Dewan Hindia pada 3 November 1628.
Kemudian Coen melanjutkan menulis, "Mereka membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Mereka dilindungi oleh beberapa orang, yang terus menembaki kubu dengan memakai bedil laras panjang."
"Akan tetapi," tulis Coen, "sebanyak 24 orang kami yang berada di kubu itu memberikan perlawanan yang gigih, sehingga sepanjang malam itu semua musuh berhasil dipukul mundur sampai semua mesiu habis."
Arsip pada masa VOC itu diungkap oleh Adolf Heuken, seorang pastor dan ahli sejarah Jakarta. Dalam bukunya yang bertajuk Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta, dia memaparkan arsip semasa dan kutipan karya sastra Nusantara yang berkait dengan awal mula Jakarta.
Selembar litografi koleksi Nationaal Archief Nederlande, kemungkinan dibuat pasca-1780, melukiskan serangan Mataram terhadap kubu Batavia. Judulnya, "Mislukte belegering op Batavia door de sultan van Mataram in 1628"—Serangan di Batavia oleh Sultan Mataram tahun 1628.
Pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia sebanyak dua kali, 1628 dan 1629. Prajurit Mataram bertempur di bawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja. Soal prajurit Mataram yang kalah perang karena kurangnya pasokan logistik dan senjata, tampaknya sudah banyak yang mencatatnya. Namun, bagaimana kisah manusia yang saling bertempur di Batavia itu sangat sedikit sumber yang berkisah.
Tampaknya, Coen pun sengaja melewatkan adegan paling epik dalam pertempuran bersejarah itu.
Johan Neuhof (1618-1672), seorang Jerman, telah menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC. Buku itu dia beri judul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham, terbit pada 1669. Selain berisi kisah, buku itu juga berisi 36 litografi.
Neuhof berkisah ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoute Hollandia—sebuah bastion dengan bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara—di Batavia pada 1628. Prajurit Mataram melancarkan kecamuk serangan hebat di kubu Hollandia pada paruh kedua September 1628. Di dalam kubu, Sersan Hans Madelijn bersama 24 serdadunya—yang kabarnya hanya didukung dua artileri tempur—mencoba bertahan dari serangan pengepung.
Petrus Johannes Blok dan Philip Christiaan Molhuysen meriwayatkan sosok Madelijn dan takdir kubu Hollandia dalam Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, yang terbit pada 1911. Para garnisun Kota Batavia itu dikepung selama sebulan penuh, sejak Agustus, sehingga komandan Mataram merasa yakin dapat merebut kubu ini. Pada malam 21 dan 22 September, kedua belah pihak bertempur habis-habisan. Lantaran sengitnya perlawanan, para garnisun VOC pun kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.
Baca juga: Memenangkan Trump dengan Data Facebook Terungkap dari 27 Halaman Presentasi
Madelijn, pemuda berusia 23 tahun yang asal Jerman, punya sebuah gagasan sinting. Dia menyelinap ke ruang serdadu kemudian menyuruh anak buahnya untuk membawa sekeranjang penuh tinja. Dengan segala rasa putus asa, kubu ini melemparkan tinja mereka ke tubuh-tubuh serdadu Jawa yang meradang dan merayapi dinding kubu Hollandia. Sekejap, mereka lari tunggang-langgang karena perkara yang menjijikkan itu. Tampaknya, hasil dari gagasan Madelijn itu cukup manjur.
“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi—demikian pekik prajurit Mataram, yang dikisahkan ulang oleh Neuhof.
Mereka jengkel karena terkena serangan berpeluru jenis baru yang sungguh bau itu. Hari berikutnya, prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia. Serangan Mataram pun gagal.
Lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”. Kelak, orang Jawa mencatat ada dua kota di Batavia, Kota Intan dan Kota Tahi.
Sersan Hans Madelijn tentu bangga atas prestasinya. Laporan kemenangan itu sampai juga ke Gubernur Jenderal di Kastel. Atas keberhasilan mengusir serangan Mataram, Madelijn menjadi pahlawan pada hari itu.
Kendati demikian, sebagai seorang serdadu asing, kenaikan pangkatnya tak begitu tinggi. Ia mendapatkan pangkat barunya sebagai letnan. Namun, pangkat itu juga yang membawanya berjumpa dengan ajal. Madelijn terbunuh pada usia 34 tahun, ketika sedang meredam kerusuhan di Amboina pada 1639.
Babad Tanah Jawi, yang berisi kisah raja-raja Jawa, juga merekam pertempuran terkonyol dalam sejarah VOC itu. Pada 1941, seorang sejarawan Belanda bernama W.L. Olthof telah menerjemahkan salah satu versi Babad Tanah Jawi. Dia menerjemahkan bundel Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 ke dalam paparan prosa berbahasa Belanda.
Babad itu mengisahkan,“Orang Belanda bubuk mesiunya semakin menipis. Kotoran orang atau tinja dibuat obat mimis. Orang Jawa banyak yang muntah-muntah, sebab kena tinja...” Di bagian lain juga diceritakan, “Adapun Pangeran Mandurareja masih tetap mempertahankan perangnya, tetapi tetap tidak dapat mendekati benteng, karena tidak tahan bau tinja. Pakaian mereka berlumuran tinja. Para adipati pesisir bala-prajuritnya banyak yang tewas. Sedang yang hidup tidak tahan mencium bau tinja. Sepulang berperang lalu merendamkan diri di sungai.”
Thomas Stamford Raffles juga menceritakan perihal sebutan "Kota Tahi" dalam bukunya yang bertajuk History of Java Volume II halaman 168, terbit di London pada 1817."...Pada waktu itu, karena orang-orang Belanda dapat dipukul oleh keganasan orang-orang Jawa, mereka terpaksa menggunakan batu-batuan sebagai ganti bola-bola besi untuk amunisi meriam. Namun usaha tersebut menemui kegagalan," tulis Raffles. "Sebagai usaha terakhir, mereka melemparkan kantong-kantong berisi kotoran yang berbau busuk sekali ke arah orang-orang Jawa, dan sejak saat itulah benteng itu dijuluki dengan nama Kota tai."
Peristiwa konyol dan sungguh-sungguh terjadi itu juga dikisahkan ulang dalam naskah Babad Dipanagara. Perkara ini pertama kali diungkap oleh Sudibjo Z.H. dalam Babad Betawi, Petikan dari Babad Diponegoro, yang terbit pada 1969 untuk perayaan ulang tahun Jakarta.
Babad Dipanagara ditulis oleh Pangeran Dipanagara selama pengasingannya di Fort Amsterdam, Manado, pada 1831-1832—sekitar dua abad setelah penyerbuan Mataram ke Batavia. Babad ini ditulis dalam tembang macapat beraksara Jawi, yang berisi tentang Kerajaan Majapahit, kemunculan Mataram Islam, perpecahan Mataram, hingga autobiografinya selama Perang Jawa. Pada 2013, UNESCO mengakui manuskrip bersejarah ini sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World).
Berikut petikan terjemahan Babad Dipanagara Bagian Kedua, Pupuh XII, Durma, yang berkisah tentang peristiwa penyerangan Mataram ke Batavia pada September 1628:
Ujung perang sudah beradu berayun, dalam satu aba-aba seluruhnya, pecah melebur dalam perang, berhadap-hadapan, serangan tembakan Sang Kompeni, bergemuruh seolah gunung runtuh, seluruh pasukan pesisir pun kacau balau.
“Ki Mandureja (dalam Babad Tanah Jawi ditulis sebagai Mandurareja) yang memimpin jalan, melalui jalan darat, begitu banyak rombongan, hutan dan jurang pun sampai penuh (oleh rombongan), tanpa banyak cakap, maka sampailah di Betawi.
Seluruh orang Betawi pun gempar, berbondong-bondonglah, Sang Gubernur pun sudah mengetahui, lekas membunyikan pertanda, maka telah siap pasukan kompeni, pasukan lawan sudah banyak, begitu pula banyak yang datang membantu.
Pasukan berjumlah dua ribu lebih sedikit, seluruh pasukan bersiap siaga, hendak menyambut perang, tanpa adanya perantara pun sudah berangkat, diceritakan pasukan Mataram, jika sudah mengetahui, bertemu dalam perang.
Ki Mandureja segera bersiap-siap, beliau menjadi pemimpin, seluruh prajurit yang datang dari pesisir, menemui Pangeran Sumedang, juga adipati dari Tegal, semua sudah siap, lalu tanda pun berbunyi.
Ujung perang sudah beradu berayun, dalam satu aba-aba seluruhnya, pecah melebur dalam perang, berhadap-hadapan, serangan tembakan Sang Kompeni, bergemuruh seolah gunung runtuh, seluruh pasukan pesisir pun kacau balau.
[...]
Ki Mandureja telah menjadi musuh (bagi kompeni), serangannya bertubi-tubi, kompeni menyerang dengan gencar, namun sudah tidak peduli, para adipati bersama pasukan Mataram.
Menyusup di antara asap senjata yang ditembakkan, perang pun menjadi semakin rumit, senjata (amunisi) pun sudah habis, tinggal pedang yang mengamuk, namun tidak lagi memuaskan, kompeni sudah habis, yang masih hidup pun melarikan diri.
[...]
Dari atas benteng pasukan berada, tak bisa lagi keluar, langit seolah memuntahkan tembakan, setelah mendengar berita bahwa Pangeran Purbaya mampu menambah prajurit.
Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian Ki Mandura terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja. Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening.
[...] Menurut saya mesiunya sudah tipis, begitu disampaikan oleh para adipati, lalu berangkatlah bersama, Kota intan sudah kelihatan, tak berapa lama sudah dikepung, gubernur bersiap, cukup gugup memberikan aba-aba.
Meriam sudah disulut, suaranya bagaikan petir di tengah para adipati, serempak dihadapannya, tidak takut pada suara peluru, namun cukup gugup bagi yang berada di dalam benteng.
Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian Ki Mandura terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja.
Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening."
Lalu, di mana lokasi sesungguhnya kubu Redoute Hollandia itu?
Beberapa dekade setelah pertempuran sengit nan menjijikkan itu, kubu Hollandia mulai ditinggalkan. Kemudian, kubu usang itu digunakan sebagai penyamakan kulit. Gubernur Jenderal Johan Camphuijs, yang memerintah pada 1684 sampai 1691, menempatkannya dalam daftar monumen bersejarah. Sayangnya, tengara bersejarah itu menghilang pada 1766.
Heuken, dalam bukunya yang bertajuk Historical Sites of Jakarta, mengungkapkan bahwa dahulu memang pernah ada kampung bernama “Kota Tahi” di tenggara pusat Kota Batavia. Namun, Heuken juga menambahkan bahwa kampung berjulukan “Kota Tahi’ itu masih kerap didengar orang, setidaknya hingga pertengahan abad ke-19.
Toponimi kampung itu menandai pertahanan VOC di kubu Hollandia. Lokasinya di dekat Jalan Pinangsia Timur, tepatnya di sisi timur dari ujung selatan jalan itu. Kini lokasinya tak jauh dengan Glodok Plaza, Jakarta Barat.
“Lokasi bekas benteng Hollandia ini tak banyak yang tahu,” ungkap Ade Purnama, penggerak Sahabat Museum. Adep, demikian ia akrab disapa, menziarahi tapak pertahanan VOC itu bersama komunitasnya. Kini, tapak bangunan pertahanan itu telah menjelma kompleks ruko dan permukiman padat di ujung selatan Jalan Pinangsia Timur, Jakarta Barat. Dia juga menyaksikan bahwa Sungai Ciliwung yang pernah membatasi kubu Hollandia itu masih memiliki alur dan pola seperti empat abad silam.
Walaupun para pucuk pimpinan perang kedua belah pihak yang berseteru itu dikenang sepanjang masa, demikian menurut Adep, “Lokasi pertempuran mereka kembali sunyi dan tak diingat masyarakat.”
Hampir 400 tahun yang lalu, di tempat ini prajurit Mataram dan Eropa pernah mengorbankan ratusan bahkan ribuan prajuritnya untuk menguasai Batavia—yang kita kenal sebagai Jakarta kini. “Mereka bertempur sampai titik darah penghabisan,” ungkap Adep.
Lalu, seperti apakah rupa bangunan kubu Hollandia tatkala Mataram menyerbu Batavia pada 1628?
Adep menemukan dua rujukan, sayangnya keduanya memerikan gambaran yang berbeda tentang kubu Hollandia. Rujukan dari sumber tertulis semasa bersaksi bahwa pertahanan di sisi tenggara Kota Batavia itu berupa menara yang berpagar deretan kayu berujung runcing, ungkapnya. Namun demikian, rujukan dari peta semasa (karya Frans Florisz. van Berckenrode, 1627) menunjukkan bahwa pertahanan di timur kota itu berupa dinding batu yang melintang dari selatan hingga ke utara. Adep menduga, “Mungkin untuk pencitraan suatu daerah, yang berhasil direbut, kepada tuannya di Belanda.”
Baca juga: Hampir Setiap Minggu, Bumi Kejatuhan Satelit
“Kami mengajak masyarakat Jakarta untuk lebih mengenal kotanya, sejarah kotanya. Walau wujudnya [Bastion Hollandia] sudah tidak ada lagi kini, lokasi pertempurannya masih dapat didatangi,” ungkap Adep. “Tidak ada yang tersisa kecuali catatan sejarah yang melegenda: Kota Tahi.”
(Kisah ini terbit pertama kali pada 23 Juli 2013, kemudian diperbaharui dan diperkaya dengan berbagai materi pada 19 September 2017)
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR