Peristiwa konyol dan sungguh-sungguh terjadi itu juga dikisahkan ulang dalam naskah Babad Dipanagara. Perkara ini pertama kali diungkap oleh Sudibjo Z.H. dalam Babad Betawi, Petikan dari Babad Diponegoro, yang terbit pada 1969 untuk perayaan ulang tahun Jakarta.
Babad Dipanagara ditulis oleh Pangeran Dipanagara selama pengasingannya di Fort Amsterdam, Manado, pada 1831-1832—sekitar dua abad setelah penyerbuan Mataram ke Batavia. Babad ini ditulis dalam tembang macapat beraksara Jawi, yang berisi tentang Kerajaan Majapahit, kemunculan Mataram Islam, perpecahan Mataram, hingga autobiografinya selama Perang Jawa. Pada 2013, UNESCO mengakui manuskrip bersejarah ini sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World).
Berikut petikan terjemahan Babad Dipanagara Bagian Kedua, Pupuh XII, Durma, yang berkisah tentang peristiwa penyerangan Mataram ke Batavia pada September 1628:
Ujung perang sudah beradu berayun, dalam satu aba-aba seluruhnya, pecah melebur dalam perang, berhadap-hadapan, serangan tembakan Sang Kompeni, bergemuruh seolah gunung runtuh, seluruh pasukan pesisir pun kacau balau.
“Ki Mandureja (dalam Babad Tanah Jawi ditulis sebagai Mandurareja) yang memimpin jalan, melalui jalan darat, begitu banyak rombongan, hutan dan jurang pun sampai penuh (oleh rombongan), tanpa banyak cakap, maka sampailah di Betawi.
Seluruh orang Betawi pun gempar, berbondong-bondonglah, Sang Gubernur pun sudah mengetahui, lekas membunyikan pertanda, maka telah siap pasukan kompeni, pasukan lawan sudah banyak, begitu pula banyak yang datang membantu.
Pasukan berjumlah dua ribu lebih sedikit, seluruh pasukan bersiap siaga, hendak menyambut perang, tanpa adanya perantara pun sudah berangkat, diceritakan pasukan Mataram, jika sudah mengetahui, bertemu dalam perang.
Ki Mandureja segera bersiap-siap, beliau menjadi pemimpin, seluruh prajurit yang datang dari pesisir, menemui Pangeran Sumedang, juga adipati dari Tegal, semua sudah siap, lalu tanda pun berbunyi.
Ujung perang sudah beradu berayun, dalam satu aba-aba seluruhnya, pecah melebur dalam perang, berhadap-hadapan, serangan tembakan Sang Kompeni, bergemuruh seolah gunung runtuh, seluruh pasukan pesisir pun kacau balau.
[...]
Ki Mandureja telah menjadi musuh (bagi kompeni), serangannya bertubi-tubi, kompeni menyerang dengan gencar, namun sudah tidak peduli, para adipati bersama pasukan Mataram.
Menyusup di antara asap senjata yang ditembakkan, perang pun menjadi semakin rumit, senjata (amunisi) pun sudah habis, tinggal pedang yang mengamuk, namun tidak lagi memuaskan, kompeni sudah habis, yang masih hidup pun melarikan diri.
[...]
Dari atas benteng pasukan berada, tak bisa lagi keluar, langit seolah memuntahkan tembakan, setelah mendengar berita bahwa Pangeran Purbaya mampu menambah prajurit.
Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian Ki Mandura terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja. Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening.
[...] Menurut saya mesiunya sudah tipis, begitu disampaikan oleh para adipati, lalu berangkatlah bersama, Kota intan sudah kelihatan, tak berapa lama sudah dikepung, gubernur bersiap, cukup gugup memberikan aba-aba.
Meriam sudah disulut, suaranya bagaikan petir di tengah para adipati, serempak dihadapannya, tidak takut pada suara peluru, namun cukup gugup bagi yang berada di dalam benteng.
Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian Ki Mandura terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja.
Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening."
Lalu, di mana lokasi sesungguhnya kubu Redoute Hollandia itu?
Beberapa dekade setelah pertempuran sengit nan menjijikkan itu, kubu Hollandia mulai ditinggalkan. Kemudian, kubu usang itu digunakan sebagai penyamakan kulit. Gubernur Jenderal Johan Camphuijs, yang memerintah pada 1684 sampai 1691, menempatkannya dalam daftar monumen bersejarah. Sayangnya, tengara bersejarah itu menghilang pada 1766.
Heuken, dalam bukunya yang bertajuk Historical Sites of Jakarta, mengungkapkan bahwa dahulu memang pernah ada kampung bernama “Kota Tahi” di tenggara pusat Kota Batavia. Namun, Heuken juga menambahkan bahwa kampung berjulukan “Kota Tahi’ itu masih kerap didengar orang, setidaknya hingga pertengahan abad ke-19.
Toponimi kampung itu menandai pertahanan VOC di kubu Hollandia. Lokasinya di dekat Jalan Pinangsia Timur, tepatnya di sisi timur dari ujung selatan jalan itu. Kini lokasinya tak jauh dengan Glodok Plaza, Jakarta Barat.
“Lokasi bekas benteng Hollandia ini tak banyak yang tahu,” ungkap Ade Purnama, penggerak Sahabat Museum. Adep, demikian ia akrab disapa, menziarahi tapak pertahanan VOC itu bersama komunitasnya. Kini, tapak bangunan pertahanan itu telah menjelma kompleks ruko dan permukiman padat di ujung selatan Jalan Pinangsia Timur, Jakarta Barat. Dia juga menyaksikan bahwa Sungai Ciliwung yang pernah membatasi kubu Hollandia itu masih memiliki alur dan pola seperti empat abad silam.
Walaupun para pucuk pimpinan perang kedua belah pihak yang berseteru itu dikenang sepanjang masa, demikian menurut Adep, “Lokasi pertempuran mereka kembali sunyi dan tak diingat masyarakat.”
Hampir 400 tahun yang lalu, di tempat ini prajurit Mataram dan Eropa pernah mengorbankan ratusan bahkan ribuan prajuritnya untuk menguasai Batavia—yang kita kenal sebagai Jakarta kini. “Mereka bertempur sampai titik darah penghabisan,” ungkap Adep.
Lalu, seperti apakah rupa bangunan kubu Hollandia tatkala Mataram menyerbu Batavia pada 1628?
Adep menemukan dua rujukan, sayangnya keduanya memerikan gambaran yang berbeda tentang kubu Hollandia. Rujukan dari sumber tertulis semasa bersaksi bahwa pertahanan di sisi tenggara Kota Batavia itu berupa menara yang berpagar deretan kayu berujung runcing, ungkapnya. Namun demikian, rujukan dari peta semasa (karya Frans Florisz. van Berckenrode, 1627) menunjukkan bahwa pertahanan di timur kota itu berupa dinding batu yang melintang dari selatan hingga ke utara. Adep menduga, “Mungkin untuk pencitraan suatu daerah, yang berhasil direbut, kepada tuannya di Belanda.”
Baca juga: Hampir Setiap Minggu, Bumi Kejatuhan Satelit
“Kami mengajak masyarakat Jakarta untuk lebih mengenal kotanya, sejarah kotanya. Walau wujudnya [Bastion Hollandia] sudah tidak ada lagi kini, lokasi pertempurannya masih dapat didatangi,” ungkap Adep. “Tidak ada yang tersisa kecuali catatan sejarah yang melegenda: Kota Tahi.”
(Kisah ini terbit pertama kali pada 23 Juli 2013, kemudian diperbaharui dan diperkaya dengan berbagai materi pada 19 September 2017)
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR