Neuhof berkisah ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoute Hollandia—sebuah bastion dengan bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara—di Batavia pada 1628. Prajurit Mataram melancarkan kecamuk serangan hebat di kubu Hollandia pada paruh kedua September 1628. Di dalam kubu, Sersan Hans Madelijn bersama 24 serdadunya—yang kabarnya hanya didukung dua artileri tempur—mencoba bertahan dari serangan pengepung.
Petrus Johannes Blok dan Philip Christiaan Molhuysen meriwayatkan sosok Madelijn dan takdir kubu Hollandia dalam Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, yang terbit pada 1911. Para garnisun Kota Batavia itu dikepung selama sebulan penuh, sejak Agustus, sehingga komandan Mataram merasa yakin dapat merebut kubu ini. Pada malam 21 dan 22 September, kedua belah pihak bertempur habis-habisan. Lantaran sengitnya perlawanan, para garnisun VOC pun kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.
Baca juga: Memenangkan Trump dengan Data Facebook Terungkap dari 27 Halaman Presentasi
Madelijn, pemuda berusia 23 tahun yang asal Jerman, punya sebuah gagasan sinting. Dia menyelinap ke ruang serdadu kemudian menyuruh anak buahnya untuk membawa sekeranjang penuh tinja. Dengan segala rasa putus asa, kubu ini melemparkan tinja mereka ke tubuh-tubuh serdadu Jawa yang meradang dan merayapi dinding kubu Hollandia. Sekejap, mereka lari tunggang-langgang karena perkara yang menjijikkan itu. Tampaknya, hasil dari gagasan Madelijn itu cukup manjur.
“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi—demikian pekik prajurit Mataram, yang dikisahkan ulang oleh Neuhof.
Mereka jengkel karena terkena serangan berpeluru jenis baru yang sungguh bau itu. Hari berikutnya, prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia. Serangan Mataram pun gagal.
Lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”. Kelak, orang Jawa mencatat ada dua kota di Batavia, Kota Intan dan Kota Tahi.
Sersan Hans Madelijn tentu bangga atas prestasinya. Laporan kemenangan itu sampai juga ke Gubernur Jenderal di Kastel. Atas keberhasilan mengusir serangan Mataram, Madelijn menjadi pahlawan pada hari itu.
Kendati demikian, sebagai seorang serdadu asing, kenaikan pangkatnya tak begitu tinggi. Ia mendapatkan pangkat barunya sebagai letnan. Namun, pangkat itu juga yang membawanya berjumpa dengan ajal. Madelijn terbunuh pada usia 34 tahun, ketika sedang meredam kerusuhan di Amboina pada 1639.
Babad Tanah Jawi, yang berisi kisah raja-raja Jawa, juga merekam pertempuran terkonyol dalam sejarah VOC itu. Pada 1941, seorang sejarawan Belanda bernama W.L. Olthof telah menerjemahkan salah satu versi Babad Tanah Jawi. Dia menerjemahkan bundel Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 ke dalam paparan prosa berbahasa Belanda.
Babad itu mengisahkan,“Orang Belanda bubuk mesiunya semakin menipis. Kotoran orang atau tinja dibuat obat mimis. Orang Jawa banyak yang muntah-muntah, sebab kena tinja...” Di bagian lain juga diceritakan, “Adapun Pangeran Mandurareja masih tetap mempertahankan perangnya, tetapi tetap tidak dapat mendekati benteng, karena tidak tahan bau tinja. Pakaian mereka berlumuran tinja. Para adipati pesisir bala-prajuritnya banyak yang tewas. Sedang yang hidup tidak tahan mencium bau tinja. Sepulang berperang lalu merendamkan diri di sungai.”
Thomas Stamford Raffles juga menceritakan perihal sebutan "Kota Tahi" dalam bukunya yang bertajuk History of Java Volume II halaman 168, terbit di London pada 1817."...Pada waktu itu, karena orang-orang Belanda dapat dipukul oleh keganasan orang-orang Jawa, mereka terpaksa menggunakan batu-batuan sebagai ganti bola-bola besi untuk amunisi meriam. Namun usaha tersebut menemui kegagalan," tulis Raffles. "Sebagai usaha terakhir, mereka melemparkan kantong-kantong berisi kotoran yang berbau busuk sekali ke arah orang-orang Jawa, dan sejak saat itulah benteng itu dijuluki dengan nama Kota tai."
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR