Planet yang mengitari bintang lain bukanlah hal baru dalam dunia astronomi. Setidaknya sudah 18 tahun berlalu sejak planet di bintang 51 Pegasi ditemukan oleh Michel Mayor, Tonggak sejarah bagi dunia extrasolar planet atau planet yang mengitari bintang lain serupa Matahari. Dan sampai saat ini tercatat 890 sudah ditemukan mengitari bintang lain baik yang serupa Matahari maupun yang memiliki kelas yang berbeda dengan Matahari.
Jika melihat kondisi ini, tentunya penemuan satu lagi planet baru tidak akan mengejutkan bagi dunia astronomi. Sayangnya, asumsi seperti itu tidaklah tepat. Setiap penemuan planet baru memberi warna dan cerita tersendiri bagi pemahaman evolusi sistem keplanetan karena tidak ada yang ditemukan persis sama.
Akan tetapi, untuk bisa menemukan planet baru tidaklah mudah. Lihatlah ke langit, dan kita akan melihat bintang sebagai satu noktah terang di sana. Sekarang jika ada planet di salah satu bintang itu, bagaimana mengenalinya? Planet memiliki ukuran jauh lebih kecil dari bintang. Kalau bintang cuma bisa kita lihat sebagai titik bagaimana dengan planet?
Untuk bisa mengenali keberadaan sebuah planet, para astronom mengembangkan teknik tidak langsung untuk mendeteksi keberadaan obyek yang mengelilingi bintang. Sebagian besar planet ditemukan dengan cara tidak langsung lewat teknik kecepatan radial ataupun transit. Tapi ada juga yang berhasil dilihat secara langsung. Dan untuk bisa melihat secara langsung jelas tidak mudah!
Bak melihat seekor kunang-kunang yang melintas di depan lampu mercusuar yang super terang. Itulah yang harus dilihat para astronom untuk menentukan apakah sebuah bintang punya planet atau tidak! Tapi bukan berarti pengamatan secara langsung tidak bisa menemukan planet baru. Setidaknya ada sekitar 30 planet berhasil dilihat secara langsung! Melihat sebuah planet secara langsung bisa memberikan informasi terkait luminositas, temperatur, atmosfer dan orbitnya.
Salah satu planet itu berhasil dilihat secara langsung oleh teleskop Subaru 8,2 meter dalam proyek Strategic Explorations of Exoplanets and Disks with Subaru (SEEDS) yang dipimpin oleh Motohide Tamura dari Universitas Tokyo dan National Astronomical Observatory of Japan (NAOJ).
Planet Raksasa di Kejauhan
Astronom yang bekerja dalam program SEEDS berhasil memotret citra sebuah planet masif yang mereka beri nama Jupiter kedua. Kandidat planet yang dipotret oleh SEEDS adalah GJ 504 b yang mengorbit bintang serupa Matahari GJ 504 atau yang dikenal sebagai 59 Virginis. Dari namanya bisa diketahui kalau bintang ini berada di rasi Virgo dan berada pada jarak 60 tahun cahaya dari Bumi. Dalam pengamatan, bintang GJ 504 termasuk terang untuk bisa diamati dengan mata tanpa alat. Kecerlangannya sekitar ~5 magnitud. Tapi, planet yang dilihat sedang mengitari sang bintang jauh lebih redup dengan kecerlangan 17-20 magnitud pada panjang gelombang infra merah.
Penemuan planet Jupiter kedua ini penuh tantangan. Pemotretan langsung yang dilakukan tidak mampu memisahkan kandidat planet dari bintang latar belakang, sehingga para astronom pun melakukan 7 kali pengamatan baru bisa memastikan bahwa yang dilihat memang planet bukan bintang latar belakang. Satu hal menarik, planet Jupiter kedua ini ditemukan berada cukup jauh dari bintang induknya yakni pada jarak 44 AU. Jika ditempatkan di Tata Surya, planet tersebut berada lebih jauh dari Neptunus dan berada pada rentang orbit Pluto.
Pada jarak yang demikian jauh, planet GJ 504b jelas merupakan planet yang dingin. Hasil pengamatan menunjukkan kalau GJ 504b memiliki temperatur yang sangat dingin yakni 500 K atau hanya 240º C. Warna planet GJ 504b juga “tak berbeda” jauh dari Bumi yakni berwarna biru karena tidak adanya awan di atmosfer.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana mungkin ada planet gas raksasa pada jarak sejauh itu?
Bagaimana GJ 504b bisa terbentuk?
Jika menilik model akresi inti pada model Tata Surya, tidak ada penjelasan terkait bagaimana sebuah planet gas raksasa bisa terbentuk di “area terluar” sistem yang demikian jauh dari bintang induk. Dalam model akresi-inti, planet gas seperti Jupiter mulai terbentuk pada piringan kaya gas di sekitar bintang muda. Benih dari inti planet merupakan hasil tabrakan dari asteroid dan komet berupa batuan dan es. Saat inti sudah memiliki massa yang cukup gaya gravitasinya akan mulai menarik gas dari piringan untuk membentuk planet.
Model akresi inti bekerja dengan baik untuk pembentukan planet sampai pada jarak 30 Au yang merupakan jarak planet Neptunus dari Matahari. Tapi, untuk planet yang berada lebih jauh dari itu seperti halnya GJ 504 b yang berada pada jarak 44 AU, kasusnya akan lebih sulit.
Model lain yang diajukan adalah ketidakstabilan gravitasi pada area pembentukan. Dalam pemodelan ini, piringan protoplanet yang masif menjadi tidak stabil pada area terluarnya. Akibat dari ketidakstabilan ini adalah keruntuhan pada bagian piringan terluar yang runtuh ke dalam salah satu atau lebih planet raksasa. Tapi, teori ketidakstabilan gravitasi ini pun punya masalah tersendiri. Untuk bisa menghasilkan ketidakstabilan pada piringan protoplanet, bintang induknya yang serupa Matahari harus memiliki piringan yang sangat masif di sekelilingnya termasuk memiliki di bagian terluar. Jika melihat pada dua model yang ada, jelas para astronom masih belum bisa memastikan bagaimana planet gas raksasa GJ 504 b terbentuk pada jarak yang demikian jauh.
Meskipun para astronom masih belum bisa mengetahui secara pasti bagaimana planet GJ 504 b terbentuk, massa planet ini bisa diketahui meskipun ada beberapa tantangan dalam penentuan massa. Diperkirakan GJ 504 b memiliki massa 3 kali massa planet Jovian dan bintang induknya berusia 160 juta tahun. Dari hasil analisa, obyek yang dipotret merupakan sebuah planet dan bukan sebuah bintang katai coklat.
Keberhasilan SEEDS dalam memotret planet secara langsung merupakan langkah maju lainnya untuk bisa menemukan planet serupa Bumi lewat pengamatan secara langsung di masa depan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR