Pada awal abad ke-20, tak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat.
Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu. Itu semua belum cukup memuaskan tuan kebun. Bahkan, bagi kuli perempuan hukumannya tak terperi: kemaluannya digosok dengan merica halus.
Saya mengira sistem sidik jari untuk para kuli hanya dipakai masa kolonial. Ternyata saya salah. Seorang karyawati sepuh—tampaknya ahli daktiloskopi— bekerja dengan tumpukan arsip di sebuah meja besar tinggalan Hindia Belanda. Dia sedang menggeser lensa pembesar untuk memeriksa sidik jari kuli-kuli perkebunan.
Sambil bekerja dia tersenyum dan berujar kepada saya yang mengamatinya dengan keheranan, “Kami masih menggunakan sistem sidik jari ini untuk para karyawan perkebunan sini.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR