Mesin perahu itu meraung-raung membelah gelombang di perairan laut Teluk Bintuni. Penumpang di dalamnya terlihat kelelahan di bawah terik matahari yang menyengat perairan Papua Barat. Di antara penumpang terdapat perempuan-perempuan muda berusia duapuluh tahunan.
Wajah mereka ditundukan untuk menghindar cahaya matahari langsung. Kerudung mereka melambai-lambai tertiup angin laut. Dua jam lebih mereka terombang-ambing gelombang, tapi tujuan masih jauh. Mereka hendak ke distrik Arandai tempat pelatihan bagi guru-guru muda seperti mereka.
Ya, mereka adalah guru-guru muda yang mau mengabdikan dirinya mengajar di daerah terpencil di wilayah kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Baru enam bulan mereka mengajar di Sekolah Negeri Taroi. Asal mereka dari Jawa Timur, tepatnya kota Malang.
Selepas dari Universitas Muhammadiyah Malang mereka mendapat tawaran untuk menjadi guru di daerah terpencil. “Tawaran pertama adalah mengajar di Papua, langsung saya ambil. Kalau tawaran pertama di Kalimantan saya ambil Kalimantan”, cerita ibu guru Erlyn Stevanie Rosalyn, 23 tahun, saat ditanya bagaimana bisa mengajar di wilayah terpencil.
Erlyn bersama lima orang teman yang lain dari kota Malang di Jawa Timur terinspirasi oleh gerakan Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Informasinya mereka peroleh dari grup di jejaring sosial Facebook.
Cerita teman-teman mereka lewat jejaring sosial tentang pengalaman mengajar di berbagai pelosok Indonesia menggerakkan hati mereka untuk berperan serta di Papua.
“Sudah ada tekad dari awal, jadi langsung ikut tes waktu ada peluang menjadi guru di Papua. Ini kesempatan mengajar di luar pulau Jawa. Ikut sudah!”, jelas Yeni Widyaningrum, 23 tahun, guru muda teman Erlyn.
Walau belum setahun penuh di tempatkan di Teluk Bintuni bicara mereka sudah berlogat Indonesia Timur. Untuk satu tahun belakang ini sedikitnya ada 50 orang guru yang direkrut untuk mengajar di berbagai distrik di kabupaten Teluk Bintuni. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Semangat mereka mengajar tak diragukan lagi. Lihat saja sore itu, mereka harus berjalan kaki ratusan meter ke tengah laut yang sedang surut untuk mencapai perahu yang akan mengantar mereka ikut pelatihan guru. Mereka tak mengeluh harus berjalan di atas lumpur yang membenamkan kaki mereka sampai ke betis. Selanjutnya harus menghadang gelombang berjam-jam selama perjalanan.
Apa rahasianya agar bisa tetap menjaga semangat mengajar di daerah yang sulit terjangkau? Selain tekad yang kuat ternyata ada hal lain, yaitu murid-murid mereka sendiri. “Senyum mereka itu tulus gitu, lho. Menjadi semangat mengajar itu juga”, jelas Yeni sambil tersenyum. Erlyn menambahkan,
”Saya mengajar IPA, ketika praktikum di kelas saat anak-anak sudah bilang 'Oooo...' , saya senang sekali! Berarti mereka paham, saya jadi semangat mengajar.”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR