Pemandangan ini tidak biasa, seorang lelaki dewasa mengenakan seragam SMA nampak tekun mencatat pelajaran yang diberikan gurunya di kelas. Wajahnya sangat serius saat gurunya menerangkan tugas sekolah yang diberikan.
Dibanding teman-teman sekelasnya ia nampak jauh lebih dewasa. Nama pria itu Titus Masakoda, usianya memang di atas rata-rata usia teman sekelasnya yang baru belasan tahun. Ia berusia 25 tahun.
Fenomena usia dewasa yang bersekolah di SD, SMP, atau SMA memang ada di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Darsono, dari British Council, yang menjadi konsultan pendidikan bagi pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni, pernah menemukan di salah satu distrik ada seorang bapak yang menjadi murid kelas empat sekolah dasar.
“Yang lebih mengejutkan anaknya bapak itu menuntut ilmu di sekolah yang sama tapi anaknya duduk di kelas lima”, kata Darsono.
Banyak hal yang menyebabkan hal seperti di atas bisa terjadi. Contohnya Titus Masakoda, ia sempat jeda sekolah selepas kelulusan kelas tiga SMP Santa Monika tahun 2009. “Setelah ujian SMP saya pulang kampung ke distrik Masyeta untuk berlibur," Titus menjelaskan.
Waktu tempuh perjalanannya ke kampungnya memerlukan waktu dua hari. Setelah berkendara seharian lalu dilanjutkan jalan kaki satu hari lagi. Di kampungnya ia ternyata berlibur panjang sekali: dua tahun! “Saya menganggur dua tahun. Baru tahun 2011 saya mulai sekolah lagi," cerita Titus.
Hal seperti ini sering kali terjadi saat siswa liburan pulang kampung lalu tak pernah kembali ke sekolah. Sekarang Titus sudah duduk di kelas tiga SMA, dan usianya sudah 25 tahun. Bisa dipastikan waktu awal ia masuk sekolah umurnya sudah di atas anak rata-rata usianya.
Apalagi menurut pengakuannya ia suka berpindah-pindah sekolah. Maklum, sekolah sulit dijangkau dan jumlahnya terbatas. Masalah topografi yang ekstrem dan akses ke sekolah memang kendala bagi dunia pendidikan di Papua. Pengadaan infrastrukturnya sulit dan sangat mahal. Saat sekolah baru dibuka, anak-anak yang usianya di atas rata-rata usia sekolah pun mendaftar.
Halangan bersekolah ini ditambah dengan kultur masyarakat pedalaman yang masih menjalankan tradisi berburu, mencari ikan, atau mencari bahan makan di hutan. Kalau sudah musimnya, orang tua biasa mengajak anak yang bersekolah untuk ikut mereka ke laut atau ke hutan.
Bisa dipastikan banyak anak yang akan meninggalkan bangku sekolahnya. Dan itu bukan hanya satu dua hari, bisa berbulan-bulan. Sekolah anak pun terlantar. Sering kali setelah itu siswa-siswa tak kembali ke sekolah lagi.
Kalau si anak melanjutkan sekolah lagi berarti ia akan mengalami kesulitan untuk mengejar ketinggalan pendidikannya. Risikonya, murid yang bersangkutan tak akan naik kelas. Namun jika tidak naik kelas, akan ada masalah besar.
“Sekolah akan diserbu orangtua murid yang protes karena anaknya tidak naik kelas”, kata salah seorang guru di Kampung Onar.
Sering kali protes ini disertai tindakan kekerasan kepada sang guru. Manalah ada orang mau kerja dengan baik jika keselamatannya terancam? Mau tak mau, oleh sang guru menaikan kelas murid yang bersangkutan. Kenaikan kelas yang dipaksakan ini akhirnya membuat sang murid pun keteteran ketika menghadapi kelas baru.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR