Menurut Wiesje Ketzia Sengka, yang mengajar di SMA YPK menceritakan masalahnya “Sangat sulit untuk kami menyesuaikan diri dengan mereka. Ada yang sudah kelas satu SMA tapi kemampuan bacanya rendah sekali. Tapi dengan usaha terus menerus kami akhirnya bisa.”
Tingkat partisipasi siswa dan orangtua rendah dalam proses ajar mengajar. Sekolah hanya ramai pada tahun ajaran baru, setelah itu perlahan sepi. Masalah lain adalah ketersedian tenaga pengajar. Perlu orang-orang tangguh yang mau mengajar di daerah terpencil. Tapi sayangnya sangat sedikit guru yang tersedia. Kelas sering kosong karena ketidakhadiran guru, lalu berimbas ke murid yang jadi malas-malasan ke sekolah.
Tapi perlahan kini mulai berubah. Sejak tujuh tahun lalu, menurut data dari Dinas Pendidikan, ada peningkatan yang signifikan. Apa lagi saat pemerintah daerah membebaskan uang sekolah dari TK sampai SMA.
“Tingkat kehadiran siswa di kelas meningkat. Dari tahun 2007 untuk SD tingkat kehadirannya 84 persen sekarang mencapai 99 persen. Untuk SMP hanya 71 persen, sekarang 86 persen. SMA yang ngeri, tahun 2007 cuma 20,6 persen, sekarang sudah 74 persen. Luar biasa," penjelasan Darsono.
Kualitas guru dan sistem pengajaran pun dibenahi. Guru-guru yang berintegritas pun direkrut. Mereka mendapat insentif khusus dari pemerintah daerah agar bersemangat mengajar.
Guru-guru yang dinilai berkualitas di tempatkan di pedalaman. Semua kebutuhan guru berusaha dipenuhi. Jumlah sekolah pun bertambah. Perlahan gairah untuk pergi ke sekolah meningkat.
Jadi jangan heran banyak anak yang kembali lagi ke sekolah. Lihat saja Titus Masakoda yang berusaha sendiri untuk menyelesaikan sekolahnya. Ia kerja keras untuk mengejar keteringgalannya. Sampai harus kerja serabutan untuk membiayai hidupnya. Untung adiknya yang sudah menjadi kepala kampung ikut membiayai sekolahnya.
Pace, kita ini ingin melanjutkan kuliah di Manokwari. “Saya punya cita-cita ingin menjadi kepala distrik!”, ujarnya sesaat sebelum kembali ke kelas. Ayo pace, tidak ada kata terlambat!
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR