Nationalgeographic.co.id—Wujud memuliakan alam semesta banyak disimbolkan pada dewa-dewi di Indonesia. Dewi Sri, adalah salah satunya, dewi yang dimuliakan sebagai simbol kemakmuran.
Refleksi dari wujud memuliakan alam semesta ada terukir di macam tempat. Seperti yang ada di candi-candi Hindu-Buddha bernama pohon hayat (pohon kehidupan) yang menggambarkan alam kedewataan dan lambang kemakmuran alam semesta.
Pohon hayat sering tumbuh di pinggiran pantai, yang memberi kesejukan, tumbuh sebagai pohon kalpataru. Maka pemerintahan kita memaknai kalpataru kepada individu atau kelompok yang menghijaukan lahan kritis sebagai simbol penghargaan.
Ibu pertiwi, terlihat di candi Prambanan. Mereka terdapat di Trimurti, yakni Brahma, Wisnu, Siwa. Masing-Masing Trimurti memiliki Sakti. Diantaranya ada Dewi Saraswati (kuasa pencipta), Dewi Parwati (kuasa pemralina), dan Sri/Laksmi (kuasa pemelihara/kemakmuran).
Di Bali, ada budaya Nyegara-Gunung. Gunung menggambarkan angkasa dan laut sebagai buminya atau ibunya. "Ini menjadi dualitas yang berpasangan. Serta kedaulatan pangan terwujud," tutur I Wayan Dana, guru besar tari tata jurusan tata kelola seni FSR ISI Yogyakarta di acara Bincang Redaksi National Geographic Indonesia.
Upacara yang masih dilaksanakan di Bali seperti tumpek wariga atau acara untuk pepohonan (eka Pramana) dan tumpek kandang (uye) upacara untuk binatang (dwi pramana).
Suburnya pepohonan adalah sebagai wujud budaya peladang. Di mana gunung dan ladang terawat, di sana terdeia polo bungkah-polo gantung (tetumbuhan maupun pepohonan) hidup sebagai bukti kedaulatan pangan dan bentuk implementasi pelestarian alam.
Dewi Sri dipuja di masyarakat agraris dan pesisir. Wujudnya sama tapi nama-namanya saja yang berbeda.
"Tergantung sekto yang mana, kalo agraris dewi sri yang diagungkan tanpa mengecilkan yang lain. Walaupun kita berkiblat di India, ketika di indonesia ada akulturasinya," ucap Wayan.
"Tinggal sebutan di masyarakat setempat. Di Lombok disebut Malandika. Masyarakat menghormatinya dengan turun ke laut untuk mengambil cacing antara Februari dan Maret," tambahnya.
Di Magelang ada seni pertunjukan Wayang Wong Sakral oleh Cipto Budoyo di Dusun Tutup Ngisor. Melalui pertunjukan wayang wong ini diceritakan pertemuan Dewi Sri dan Dewa Wishnu pada kisah tentang kemakmuran dan ditampilkan tiga kali setahun.
Baca Juga: Apa Kabar, Dewi-dewi Nusantara Penjaga Kemakmuran Alam Semesta?
Mereka juga melakukan arak-arakan kesenian tradisional dengan mengelilingi Dusun Tutup Ngisor Magelang sebagai rangkaian aktivitas Pemuliaan Dewi Sri.
Sementara di Bali, aktivitas pemujaan Dewi Sri ada dalam tradisi Budaya Subak (organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam bercocok tanam padi). Mereka melakukan proses penanaman hingga padi disimpang di lumbung.
Kegiatannya meliputi: Mapag Toya (menjemput air), Nuwasen Mewinih (menabur bibit padi), Ngendag Amacul (mulai mengolah tanah), Nandur (menanam), Ngerainan (padi berumur 1,5 bulan), Ngiseh (awal bulir padi tumbuh), Mabyekukung (padi mulai menguning), Nyangket (perujudan Ratu Nini/Dewi Sri), Mantenin (menyimpan padi Lumbung).
"Pemujaan dan pemuliaan kepada Dewi Sri setelah panen padi atau gabah di bawa ke rumah kemudian di simpan di lumbung sebagai bentuk persediaan pangan dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari," kata Wayan.
Baca Juga: Penemuan Patung Hygieia, Dewi Kesehatan Dalam Mitologi Yunani di Turki
Di Jawa Barat, ada upacara saren taun Sunda Wiwitan. Menempatkan padi sebagai alat atau media utama sejak awal hingga akhir pertunjukan mempertemukan padi lanag wadon sebagai benih pertanian.
Pertunjukan ritual juga dilakukan sebagai bentuk ucapan rasa sykur dan hormat kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Sri.
Bumi, dipercaya sebagai lambang ibu pertiwi, penghasil berbagai tanaman kehidupan. Adanya kisah Dewi ini menjadi refleksi kita untuk kehidupan sehari-hari.
"Di mana perempuan dihormati, di situ ada kemakmuran," kata Wayan.
Baca Juga: Cinta Sejati dan Berharga Panji Kudawaningpati Bersama Dewi Angreni
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR