Hasil studi yang diterbitkan Economic Cooperation and Development (OECD) dan pakar dari Bank Dunia, Stephane Hallegate, menyatakan kota-kota di dunia yang berdiri di pesisir, baik laut maupun sungai, akan menghadapi risiko besar meningkatnya permukaan air laut akibat perubahan iklim.
Beberapa kota yang risikonya meningkat di masa mendatang adalah kota-kota yang saat ini masih belum berisiko tinggi. Sedangkan, kota-kota di negara berkembang paling cepat meningkat risikonya jika diukur berdasarkan dari Gross Domestic Product (GDP)-nya.
Sebagian besar kota-kota ini tumbuh dengan cepat, memiliki populasi besar, cenderung miskin dan terbuka posisinya dari serangan badai tropis, dan permukaan yang menurun. (Simak juga: Petaka dari Bumi dan Laut Jakarta)
Dalam penelitian ini sepuluh kota yang paling rentan mengalami kerugian parah akibat banjir jika dihitung dari GDP mereka adalah: 1. Guangzhou, Cina, 2. New Orleans, AS, 3. Guayaquil, Ekuador, 4. Ho Chi Minh City, Vietnam, 5. Abidjan, Pantai Gading, 6. Zhanjing, Cina, 7. Mumbai, India, 8. Khulna, Bangladesh, 9. Palembang, Indonesia, 10. Shenzen, Cina.
Diprediksi bahwa angka rata-rata kerugian akibat bencana banjir akan berlipat ganda. Dari "hanya" US$6 miliar pada tahun 2005, menjadi US$52 miliar pada tahun 2050. Kerugian menyebar di berbagai sektor sosial dan ekonomi, mulai dari populasi yang terus berkembang hingga nilai properti yang hilang.
(Lebih lengkap mengenai paparan laut meluap dalam National Geographic Indonesia September 2013: Laut Meluap)
Riset ini dilakukan sebagai bagian dari proyek OECD untuk mengeksplorasi implikasi kebijakan untuk mengatasi banjir, terkait dengan perubahan iklim dan pembangunan ekonomi. Dalam penelitian, mereka berasumsi bahwa titik tengah kenaikan permukaan air laut, termasuk akibat melelehnya lempengan es, akan mendorong kenaikan air laut antara 0,2 hingga 0,4 meter pada 2050.
Untuk membantu mengatasi kerugian yang lebih parah, penelitian ini menyarankan pemerintah kota membangun sistem peringatan dini, rencana evakuasi, dan pembangunan infrastruktur yang lebih tahan lama. Namun harus didukung pula dengan dukungan finansial untuk membangun kembali perekonomian.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR