“Walau tidak pernah diresmikan secara khusus, tempat ini memang sepertinya ditujukan bagi warga lokal,” Alex menjelaskan. Malam hari, seniman pasar menjalankan aksinya. Seorang anak kecil dengan mengenakan pakaian suku perbukitan di utara berlenggak-lenggok mengikuti suara musik yang riuh dari sebuah radio tua. Serombongan musisi tunanetra memainkan alat musik gitar, biola, kendang, dan kecrekan, menyanyikan lagu berbahasa Thailand.
Bukan hanya warga Chiang Mai selatan yang mendatangi SWS, warga di utara pun tidak mau ketinggalan. Banyat, misalnya, datang dari Huay Kaew. Pria paruh baya berpenampilan sederhana ini membawa anak dan istrinya ke SWS, padahal belum tahu mau membeli apa.
“Saya rasa kebanyakan dari kami datang ke sini bukan hanya untuk berbelanja. Saya suka suasana kebersamaan di pasar ini,” ujarnya dengan setengah berteriak karena ramainya pasar.
Penjelasan Banyat, dan warga Chiang Mai lainnya yang saya temui di Pasar Warorot, pada akhirnya seperti menyimpulkan bahwa pasar di Chiang Mai, bukan hanya penting untuk aktivitas ekonomi, melainkan juga pemersatu keanekaragaman kultur dan keyakinan: modal berharga bagi keberlanjutan sebuah peradaban. Bagaimana dengan pasar kita?
*Artikel ini merupakan bagian dari Feature Chiang-Mai yang diterbitkan National Geographic Traveler edisi Maret 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR