Bruno menyeringai. Mulutnya menganga lebar, gelambir hidungnya bergetar. Bekantan (Nasalis larvatus) jantan ini sedang memimpin kelompoknya melahap bertumpuk-tumpuk pisang. Ini perkara perut. Goyangan bekantan kecil dari kawanan Maikal melecut kewaspadaan Bruno.
Bekantan kecil itu masih lugu, tingkahnya menyulut kekacauan. Sang induk dengan cekatan meraihnya, mendekap di dada, bersicepat menyingkir. Si anak nampak tenteram dalam pelukan sang induk. Perlahan, suasana kembali damai.
Sebagai pemimpin, Bruno tetap mengawasi rombongan Maikal, sedangkan anggotanya kembali menyantap makanan. Maikal enggan menanggapi gejolak yang menyentak pagi berkabut di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Anggota Maikal menyebar bertengger di pohon-pohon mangrove: bermain, duduk-duduk, menelisik kutu dan mengemil daun. Dua tetangga ini hanya berjarak sekitar sepuluh meter dipisahkan jalan kayu dan sungai kecil. Kendati mendiami kawasan yang tak terlalu luas, dua rumpun bekantan ini berbagi ruang dan daerah jelajah.
Bekantan, tutur wakil Koordinator KKMB, Samsul Arif, hidup berkelompok yang dipimpin oleh jantan dominan. Kerumunan sosial bekantan agak longgar, bisa berpindah-pindah kelompok. Artinya, seekor bekantan bisa berpecah dan bergabung ke kelompok lain. “Tergantung jantan dominannya. Kalau dianggap bisa melindungi dan memberi rasa aman, yang lain bisa bergabung,” kata ayah satu anak ini.
Dengan begitu, satu kawanan bisa memiliki beberapa jantan dan beberapa betina. Rombongan hidup bersama, dalam kerumunan yang menyebar, namun masih dalam pindaian jantan dominan. Maikal dan Bruno kerap terlihat di tengah-tengah rombongan: mengawasi anggotanya.
Jantan dominan didapuk sebagai pemimpin untuk menjaga wilayahnya, utamanya menyangkut pakan. Keriuhan sering terjadi di tempat pakan tambahan itu. Mereka yang sedang makan lebih mudah reaktif dan curiga terhadap keberadaan kelompok lain.
Satu waktu saya menjumpai Maikal melompat dari panggung pakan: jalan kayu berderak-derak, pokok pohon bergetar, daun berguguran. Tubuhnya besar, dadanya bidang. Bruno sekadar menonton.
Primata berhidung panjang ini hanya hidup alami di Pulau Kalimantan. Sayangnya, dia dalam posisi terdesak dan terancam. Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar terancam atau CITES memasukkan bekantan dalam Apendiks I. Sedangkan dalam daftar merah IUCN—persatuan internasional bagi konservasi alam, dia termasuk primata yang terancam punah.
Tempat hidup yang khusus, sumber pakan yang terbatas, dan persaingan dengan jenis primata lain, membuat bekantan peka terhadap kerusakan habitat. Primata ini di Pulau Tarakan pun kini tak mudah ditemukan.
Bahkan populasi bekantan di kawasn seluas 22 hektare ini semula berasal dari Berau, Kalimantan Timur. “Dulunya memang ada bekantan, mungkin karena ada pemukiman mereka pergi,” kenang Samsul. Sejak ada upaya menjadikan mangrove seluas 9 hektare sebagai hutan kota, pada 2001 didatangkan enam bekantan dari Berau. Kelompok baru ini terdiri dua jantan dan empat betina.
Generasi bekantan pertama sekarang sudah tak ada lagi. “Tinggal si Jon, tapi kayaknya sudah tidak ada,” jelasnya. Populasi yang saat ini mendiami hutan kota Tarakan merupakan generasi kedua. “Mereka bisa dari keturunan pertama atau dari sumbangan masyarakat,” lanjut Samsul.
Namun, dia menambahkan, sebagian besar berasal dari enam ekor bekantan dari Berau. “Yang ada sekarang, hampir semua berkembang biak di sini.” Ruang hidup hutan mangrove Kota Tarakan rupanya mampu mendukung kehidupan bekantan hingga mampu beranak pinak.
“Sangat-sangat bisa. Bekantan di sini hilang bukan karena diburu atau ditembak, tapi karena habitatnya tidak ada. Hutan mangrove habis, sementara mereka hidup di situ,” Samsul memaparkan.
Pada sekeping hutan mangrove di jantung Kota Tarakan, bekantan generasi baru bertahan. Kawasan mangrove yang dikepung peradaban modern ini menjadi saksi bahwa alam selalu memberi momen kedua bila diberi kesempatan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR