Wajah Regina Risma kembali sumringah. Memakai sandal baru berwarna merah muda, bersama sang nenek, Kharimah, dia kembali ke hutan mangrove. Rupanya anak 4 tahun ini tak kapok: sandal lamanya direnggut seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
“Diambil monyet itu, lalu digigit, terbelah,” tutur Kharimah sambil menunjuk si monyet. Si monyet hanya menyengir, merasa tak berdosa. Sandal warna merah menyala itu koyak moyak, tercampak di lantai hutan mangrove. Risma merengek-rengek meminta sandal baru.
Datang pagi-pagi, Kharimah mengajak cucunya itu menyusuri jalan kayu Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Hari masih sepi, para bekantan (Nasalis larvatus) belum terlihat.
Dalam bayang-bayang tajuk, bekantan sebenarnya telah beraktivitas: mengemil daun, duduk-duduk, berlompatan. Bagaikan pelompat indah, bekantan meloncat dari pohon ke pohon. Dia nampak anggun: tangan dan tubuhnya terentang bebas, perutnya nampak membuncit. Tubuhnya melayang bebas, menembus langit biru, menggoyang tajuk pohon. Daun-daun berguguran.
Loncatannya terukur, dengan ancang-ancang yang tepat dari ujung dahan. Namun, tak jarang lompatannya meleset. Bekantan untungnya bisa meraih rerantingan, mencegah tubuhnya membentur lumpur. “Dia jarang jatuh. Bisa saja meraih dahan agar tak jatuh,” jelas Samsul Arif, wakil Koordinator KKMB.
Bekantan remaja berkejaran, berlari dengan dua tangan dan dua kaki. Pohon-pohon bergetar. Yang muda-muda turun ke akar pohon bakau, memunguti jamur dengan mulutnya. Sang induk menggendong, sambil menyusui bayinya. Maikal dan Bruno, pemimpin dua kelompok bekantan, tetap waspada mengamati kawanannya.
Duduk mengangkang di dahan, dua bekantan kawakan tersebut terlihat gagah. Di tengah aktivitas ini, Bruno terlihat terkantuk-kantuk. Maikal mengikuti anak-anaknya turun ke bawah. Sekadar melihat polah kelompoknya. Kerumunan monyet berwarna merah bata ini memang memikat para pengunjung. Bekantan-lah yang selalu menjadi pertanyaan para pengunjung.
“Kita bisa jalan-jalan santai di sini,” tutur M. Ali kepada cucunya Karmila. Menembus halimun yang mengambang seusai hujan, Ali menuntaskan janjinya kepada si cucu.
“Kalau sudah janji, anak kecil selalu menagih,” katanya, “anak-anak suka kalau diajak bermain ke sini.” Siswi kelas IV itu hanya tersenyum malu mendengar perkataan sang kakek.
Lagi-lagi, mereka mencari-cari bekantan. “Ibaratnya, bekantan itu orang kulit putihnya monyet,” kelakar Ali, “dia pandai berenang.” Bersama keluarganya, Ali telah dua kali menyambangi Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan.
Berdiam di Pulau Tarakan sejak 1974, Ali mengenang wilayah seputar hutan kota dahulu penuh hutan mangrove. “Sekarang sudah menjadi pemukiman dan mal.”
Ayah delapan anak ini merasakan manfaat sekeping hutan mangrove ini. Saat musim panas, tuturnya, banyak warga Tarakan bermain di kawasan ini. Udara di dalam hutan mangrove memang sejuk. Sangat kontras dengan hawa di luar kawasan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR