Hampir semua bangsa di dunia menyukai sepak bola. Tidak sulit untuk mengajukan nama-nama negara yang penduduknya menggilai si kulit bulat. Namun, ketika kadar rasa suka terhadap sepak bola diperas hingga menjadi passion, bangsa Italia menjadi yang terdepan.
Sepak bola sudah merasuk ke sanubari bangsa Italia. Di negeri ini terdapat para penggemar sepak bola fanatik yang disebut tifosi. Menurut John Foot dalam bukunya, “Winning At All Cost”, keberadaan mereka sudah ada sejak 1920.
Sejumlah sejarawan Italia menyatakan sebutan tifosi berasal dari kata tifo yang sesungguhnya berarti typhus. Kata ini dipopulerkan oleh sejumlah surat kabar Italia yang menangkap ada wabah massif di negerinya berupa kegemaran ekstrem terhadap sepak bola. Para pelaku mengekspresikannya dengan cara mendukung sebuah tim sepenuh hati. Acap kali bentuk dukungan di luar logika sehingga mereka dinilai “sakit.”
Di antara para tifosi sendiri, level dukungan terhadap tim juga berjenjang. Oleh karena itu, muncullah istilah ultras yang merupakan tifosi yang paling “gila” dalam mendukung sebuah tim. Saking fanatik, seorang ultras akan membela timnya dalam situasi apa pun sepanjang hayat.
Para tifosi bisa bertindak sedemikian rupa karena menjadikan sepak bola sebagai representasi diri. Si kulit bulat dipakai masyarakat Italia untuk menunjukkan identitas seperti area domisili, ideologi politik, hingga level kekuasaan.
Contohnya cukup beragam. Di Livorno, para pendukungnya sering mengibarkan bendera palu arit karena dikenal beraliran kiri. Tak mengherankan, mereka akan selalu bersemangat untuk mengalahkan AC Milan yang dimiliki politisi sayap kanan, Silvio Berlusconi.
Alasan berbeda ada di Napoli. Para suporternya mewajibkan timnya untuk menundukkan klub-klub dari kawasan Italia Utara seperti Internazionale Milan dan Juventus. Pasalnya, selama ini, kawasan Italia Selatan jauh tertinggal dibanding Italia Utara. Hanya lewat momen sepak bola, orang Italia Selatan bisa lebih superior atas Italia Utara.
Terobsesi hasil
Karena sepak bola dijadikan representasi diri, publik Italia sangat terobsesi terhadap hasil pertandingan. Apa saja akan dilakukan untuk menang. Sebab, harga diri dipertaruhkan di atas lapangan hijau.
Mantan pelatih timnas sepak bola Italia, Marcello Lippi mengamini. Dia mengatakan, “Pertandingan dilakukan pada akhir pekan. Sepanjang minggu kami mempersiapkan diri untuk laga tersebut. Kami sangat terobsesi terhadap hasil. Ini tidak seperti di negara lain. Di tempat lain, hal terpenting adalah permainan dan perkembangan. Hasil pertandingan menjadi yang kedua.”
Lambat laun, hal itu mendorong kelahiran mentalitas defensif dalam sepak bola Italia. Tim-tim Italia dikenal memiliki pertahanan rapat dan tak pernah malu untuk bertahan total. Ini pula yang menciptakan sistem permainan catenaccio yang hingga kini menjadi stereotype bagi tim-tim Italia.
Akan tetapi, anggapan bahwa tim-tim Italia selalu bermain bertahan tidak sepenuhnya tepat. Tim-tim Italia sesungguhnya mampu bertindak seperti bunglon. Ketika sudah memimpin dalam pertandingan, mereka bisa mengamankannya dengan bermain bertahan. Namun, saat tertinggal dan membutuhkan gol, mereka dapat saja tampil sangat agresif menekan lawan.
Permainan bertahan sering diperagakan bukan karena kecut terhadap lawan. Langkah itu dipilih semata-mata akibat obsesi besar terhadap hasil. Tim Italia tidak mau takluk karena kekalahan dirasa sebagai tamparan keras ke muka. Mentalitas itu akan terus dipegang tim-tim Italia selama sepak bola masih mereka jadikan sebagai representasi harga diri.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR