Dolphin tergolek lemas usai bercumbu dengan maut di Pulau Panaitan. Itu peristiwa tiga tahun silam. Jeevan bersama istrinya yang bernama Caarthika, dan anak mereka yang masih berusia setahun termasuk penumpang kapal motor berpoleskan cat hijau itu.
Keluarga Tamil itu lahir dan tinggal di Jaffna. Jeevan adalah seorang asisten akuntan, pernah kuliah, namun tak selesai. Sedangkan Caarthika bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit.
Lelaki kordial itu mengisahkan bahwa keluarganya berangkat tengah malam dari sebuah desa nelayan di Mannar, Sri Langka Utara. Dalam kesenyapan puluhan orang Tamil menaiki beberapa perahu motor nelayan menuju kapal Dolphin di tengah lautan. Pulau Christmas di Australia adalah tujuannya.
Mereka menggunakan kapal karena keadaan waktu itu sangat tidak aman bagi pengungsi dengan pesawat. "Mungkin akan ada yang menangkap kami, bahkan membunuh kami saat menuju bandara,” ujar Jeevan.
Celakanya, kapal berkapasitas 60 orang itu telah mengangkut 97 orang! Alhasil, mereka pun menghemat dengan makan sehari sekali. Dalam sembilan hari persediaan kentang, wortel, biskuit, beras, gandum ludes, dan air bersih ludes. Padahal kapal baru mencapai perairan barat Sumatra. Beruntung beberapa nelayan Indonesia memberikan bantuan mie instan dan minyak diesel.
Ketika hujan turun dengan derasnya, semua sibuk menyimpan air dengan panci atau segera meminumnya dengan tangan. "Kaos kami lepas untuk menyerap air yang menggenang di geladak, lalu memerasnya tepat di atas mulut kami,” ujar Jeevan sambil memperagakan. Raut mukanya berubah kecut, lalu berkata, "Warna air perasan itu sudah mirip dengan Coca-Cola!”
Akhirnya, kapal kehabisan minyak diesel dan tersapu ombak hingga tersangkut di karang Pulau Panaitan dekat Taman Nasional Ujung Kulon. Satu per satu pengungsi meloncat ke laut dan meniti tali hingga ke daratan. Namun nahasnya, seorang perempuan tewas ditelan gelombang dan dua lainnya tewas kelaparan di darat. Setelah enam hari mereka di pulau itu, Polisi Perairan Indonesia dan Pangkalan Angkatan Laut mengevakuasi mereka.
Harapan tak putus sampai jerat tersentak rantus. Petualangan selama 45 hari pun usai. "Perjalanan yang berbahaya dan penuh resiko,” ujar Jeevan. "Kami di kapal hingga jenggot dan rambut memanjang.”
Caarthika yang dari tadi hanya diam sambil menggendong anaknya tiba-tiba menambahkan, “Berat badannya anak saya turun hingga tiga kilo, sebelumnya sepuluh kilo!”
Bersambung...
Demi keselamatan para pencari suaka dan menghormati hak-hak mereka, National Geographic telah menyamarkan nama-nama pengungsi dalam tulisan ini.
Cuplikan kisah “Mencari Harapan ke Tanah Seberang” dalam National Geographic Indonesia edisi November 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR