Urusan jodoh memang siapa yang tahu. Meski mereka tinggal untuk sementara, tak kuasa jua untuk jatuh hati dan menikahi dengan gadis pribumi. Saya bertemu Payam Diba, lelaki jangkung yang berhidung mancung asal Iran, ketika dia tengah bersantai di ruang tamu kontrakannya di sebuah vila di Cisarua.
Lelaki ini bersiap pulang ke Iran karena bulan lalu permohonan pencari suakanya ditolak oleh UNHCR, setelah sepuluh tahun lamanya menunggu. Selama menunggu itu banyak agen penyelundup yang menawarkan kemudahan menuju ke Australia. ”Saat di sini pun aku coba cari calo lagi. Aku ingin berangkat lagi,” ujar Payam dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Minggu depan dia berangkat bersama Nonny Marlyna perempuan Sunda yang dinikahinya secara siri empat tahun lalu, dan Damona Zabini Diba, anaknya yang masih dua tahun. Setibanya di Teheran nanti, Payam akan melanjutkan usaha toko baju milik ayahnya.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak orang Timur Tengah yang menikahi gadis pribumi, lalu mereka meninggalkan anak dan istrinya di sini. Namun Payam punya prinsip,“Ya semua orang khan tidak sama, aku sendiri tidak bisa meninggalkan mereka. Bagaimana pun ini anak dan istri aku.”
Ketika dilamar Nonny sadar betul bahwa calon suaminya seorang pendatang haram di Indonesia dan hidup dari bantuan IOM. Mungkin saja Payam akan balik ke asalnya Iran atau New Zealand, negara tujuannya. Awalnya keluarga Nonny ragu terhadap Payam, namun akhirnya menyetujuinya. ”Alhamdulillah, sampai sekarang mereka menerima aku,” ucap Payam.
Empat bulan setelah mereka ke Iran, ayah Nonny yang bernama Yanto mengabarkan kepada saya bahwa putrinya kangen tanah air. Kehidupan "Tanah Bangsa Arya" itu ternyata lebih susah daripada di Indonesia. ”Harga barang mahal dan sulit mencari kerja,” ujar Yanto sambil menyeringai, ”Banyak orang Iran datang ke sini, kok kita malah ke Iran.”
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR