Pesawat baru mendarat di bandara Kushok Bakula Rinpoche, Leh, ibu kota Ladakh ketika tenggorokan terserang rasa haus luar biasa. Serangan fisik cukup serius dialami seorang rekan perjalanan; hidung berdarah dan beberapa hari kemudian sepasang matanya berwarna kemerahan serta berair.
Macam-macam gangguan kesehatan tadi, termasuk serangan Acute Mountain Sickness (AMS) atau Altitude Sickness, tidak saya alami saat berkunjung ke Ladakh pertama kali, sekitar tujuh tahun lalu. Saat itu, moda transportasi yang saya pilih bukan pesawat terbang, melainkan bus Himachal Pradesh Tourist Development Corporation (HPTDC) dari Manali sampai ke Leh sepanjang dua hari, bermalam di Keylong pada ketinggian 3.096 mdpl.
"Perhentian di Keylong dapat disebut sebagai aklimatisasi secara alami yang meminimalkan serangan AMS," papar Graham Postlethwaite, paramedis sebuah rumah sakit sebelah timur London yang berpengalaman mendaki Stok Kangri (6.137 m), puncak tertinggi dari Stok Range dalam kawasan Taman Nasional Hemis di Ladakh.
Seriusnya serangan AMS juga dapat ditilik dalam buku-buku panduan perjalanan yang memberikan penekanan khusus tentang wisata pada ketinggian ekstrem. Rendahnya kepadatan udara serta jumlah molekul oksigen dan nitrogen memberikan dampak terhadap fisik manusia. Konsekuensinya, tingkat kewaspadaan secara fisik dan mental mulai menurun pada ketinggian sekitar 3.000 mdpl. "Mirip bila kita naik pesawat terbang, saat ketinggian jelajah mencapai sekitar 2.400 m dpl, beberapa penumpang mengalami gejala AMS, seperti kehausan. Pasalnya, kadar air dalam paru-paru menurun saat mencapai ketinggian tertentu," imbuh Graham.
Tentu saja, kondisi fisik yang berbeda pada setiap orang membuat gejala AMS yang timbul tidak sama. Sebagian terdampak langsung akibat ketinggian ekstrem, ada pula yang baru terasa sekitar enam sampai sepuluh jam kemudian, seperti pusing, mual, muntah, letih, diare, mimisan, bagian tubuh bengkak, mati rasa sampai sulit tidur.
"Gejala ini tidak boleh dibiarkan, karena dapat memicu timbulnya High Altitude Pulmonary Edema (HAPE) atau adanya cairan dalam paru-paru yang mirip sakit bronchitis dengan gejala batuk kering, demam, dan sulit bernapas. Juga High Altitude Celebral Edema (HACE) atau pembekakan otak di mana penderita mengalami sakit kepala yang tidak mempan obat, mengalami mual hebat, tidak dapat mengontrol langkah kaki sampai penurunan kesadaran. Ada pula kasus pendarahan pada mata atau retinal haemorrhage," lanjutnya.
Serupa penuturan Nazir Wangnoo, pebisnis aneka pakaian hangat di Leh, "Ekstremnya lokasi Ladakh di atas 3.000 mdpl perlu mendapat perhatian khusus. Mayoritas hotel di Leh dilengkapi fasilitas masker dan tabung oksigen untuk berjaga-jaga bila ada tamu mendapat serangan AMS."
Thupstan Rinchen, pengemudi yang mengantar tim National Geographic Traveler menuju Chang La (Chang Pass, 5.360 mdpl), tanjakan jalan raya tertinggi ketiga di dunia sepakat dengan Nazir Wangnoo. "Bila merasa pening, segeralah turun. Paling tidak 500 m sudah sangat membantu tubuh."
Apa yang disampaikan Thupstan Rinchen memiliki benang merah dengan penuturan Teobaldus Tri Prasetyono, anggota kehormatan Wanadri yang telah mendaki Gunung Tambora (4.300 m) di Sumbawa. "Sebaiknya aklimatisasi dulu selama beberapa hari, sebelum menuntaskan keinginan ingin melihat lanskap lebih tinggi lagi. Perhatikan sinyal-sinyal tubuh—misalnya jantung berdebar-debar saat berada di ketinggian ekstrem," ungkapnya.
Bentang alam memang menawarkan keindahan dan petualangan. Namun memahami AMS tidak kalah penting, agar kegiatan berwisata di ketinggian ekstrem menorehkan kenangan indah.
Beberapa langkah menghadapi AMS
• Beristirahat sekitar dua sampai tiga jam setelah mendarat. Tinggal di ketinggian yang sama beberapa hari, sebelum ke lokasi lebih tinggi.
• Minum air mineral dalam jumlah banyak. Bawa bekal minum.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR