Nationalgeographic.co.id - Kasus pencurian dana Bantuan Sosial (Bansos) oleh mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, masih ramai dalam perbincangan. Meski sudah divonis 12 tahun penjara, respons masyarakat masih bergulir di media sosial.
Kejadian ini menimbulkan seruan oleh lembaga kajian media Remotivi, untuk menyerukan para wartawan menggunakan kata "maling" sebagai pengganti "koruptor". Seruan itu sebenarnya sudah dilakukan sejak 2017 lalu, saat kasus pencurian uang pengadaan e-KTP Setya Novanto.
Tetapi polemik pencurian uang yang berpolemik akhir-akhir ini membuat beberapa media, mengganti diksinya. Seperti Kompas.com dalam pemberitaan Selasa (24/08/2021), menggunakan kata "maling" sebagai pengganti "koruptor" untuk mengungkap lima aktor yang melibatkan Juliari Batubara.
Kemudian Pikiran Rakyat melalui sosial medianya, membuka sikap untuk menggunakan kata "maling", "rampok", dan "garong uang rakyat". Perubahan diksi ini berlaku sejak Minggu (29/08/2021) untuk digunakan pada 170 media di bawah perusahaan Pikiran Rakyat Media Network.
Community Engagement Manager Remotivi Ilham Bachtiar menerangkan, perubahan kata perlu dilakukan sebagai bentuk keseriusan menanggapi korupsi. Pihaknya memandang penggunaan "korupsi" dan "koruptor" terlalu sopan, elitis, berjarak bagi unsur kebudayaan Indonesia, dan mengalami perubahan penilaian.
"Apa lagi, baru-baru ini istilah 'koruptor' digadangkan istilahnya sebagai 'penyintas' hanya karena ada aktor andil di belakangnya," ujar Ilham saat dihubungi Jumat (27/08/2021). "Kami melihat, 'koruptor' pada definisinya memiliki kesamaan dengan 'maling'. Sama-sama mengambil sesuatu secara diam-diam demi keuntungannya sendiri."
Meski demikian, dalam KBBI, "koruptor" sebagai pelaku tindak "korupsi" sedikit berbeda dengan maling. "Korupsi" dapat berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Tetapi dalam uang negara pada istilah korupsi, memiliki unsur pajak yang dibayar oleh rakyat dalam suatu negara.
"Di sinilah, letak ketidakberbedaannya. Sama-sama mencuri. Bayangkan, kalau sepeda Mas dicuri. Itu pencurian kepada satu orang oleh maling. Kalau seluruh perumahan tempat tinggal Mas dicuri sepedanya, tentu sama saja [yang mencuri] disebut maling," jelas Ilham.
Baca Juga: Bagaimana Lingkungan Lembaga Mempengaruhi Psikologi Tindakan Korupsi?
"'Maling' lebih memiliki konotasi yang buruk dan rendahan. Selain itu juga lebih dekat secara kultural kita. Tidak seperti 'koruptor'."
Ivan Lanin, pegiat bahasa Indonesia Narabahasa berujar bahwa istilah 'korupsi' sudah didefinisikan lewat UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Istilah itu termasuk kata yang memiliki konsep unik dan spesifik.
"Istilah itu bisa saja diubah dengan istilah lain, tetapi kita perlu mengubah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan itu. Itu bukan hal yang mudah," demikian kata Ivan melalui pesan daring Whatsapp, Senin (30/08/20210).
Sebelumnya, koran Tempo juga memperkenalkan istilah "rasuah" sebagai padanan pengganti "korupsi", dalam beberapa pemberitaannya. Salah satunya pada artikel Para Adhyaksa Terseret Rasuah Mei 2021.
Ilham mengatakan, "rasuah" masih belum tepat karena tidak memiliki konotasi serendah "maling", meski istilah itu cukup dekat dengan budaya kita. Selain itu, meski tertera di KBBI, istilah ini di situs pencarian internet masih merujuk pada pemberitaan berbahasa Melayu di Malaysia.
Pentingnya konotasi rendah untuk bentuk kejahatan, terang Ilham, sebagai rasa muak dan kekesalan pada kejadian yang ada.
Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda
Bisakah suatu istilah diciptakan, khususnya dalam konteks merujuk pencurian uang negara?
Menurut Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI), terdapat lima syarat untuk membuat istilah baru, yakni:
1. Kata atau frasa itu tepat untuk mengungkapkan konsep,
2. Memiliki bentuk yang singkat di antara rujukan kata yang lain,
3. Memiliki nilai rasa (konotasi),
4. Sedap didengar (eufonik),
5. Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Yang dimaksud dalam kaidah bahasa Indonesia adalah pedoman pada sebutaan ejaan, morfologi (seperti imbuhan dan pemajemukan kata), sintaksis, dan semantik.
"Kalau mau dibentuk kata baru untuk menggantikan 'korupsi' dan 'koruptor,' saya pikir yang paling perlu perhatikan ialah syarat [nomor] satu, dua, dan lima," Ivan berpendapat. Pada kata "korupsi" sendiri diadopsi dari istilah hukum Belanda, yang induk kebahasaannya berasal dari bahasa Indo-Eropa.
Baca Juga: Memaknai 'Bajingan', Pergeseran Makna dari Profesi Jadi Kata Maki
Terkait isu perubahan kata 'koruptor' menjadi 'maling' yang dilakukan beberapa media, Ivan berpendapat, "Pilihan kata dapat merubah persepsi penutur dan bisa juga berubah karena persepsi penutur. Ini gejala perbuahan makna yang dipelajari dalam semantik."
"Kata bisa mengalami, antara lain, perluasan makna, penyempitan makna, peyorasi (menjadi lebih buruk), dan ameliorasi (menjadi lebih baik)."
Ilham menyampaikan, perubahan ini diharapkan bisa terjadi dalam waktu yang lebih lama. Tetapi kemungkinan dapat terhenti jika sudah menemukan padanan kata yang tepat untuk menggantikan "korupsi".
"Kami [Remotivi] akan sangat terbuka untuk kajian pembahasaan. Tidak akan menutup kemungkinan kalau nanti ada penelitian dengan pihak studi bahasa untuk mencari istilah yang baru," pungkasnya.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR