Selain Ratu Ageng, menurut Carey, perempuan lain yang mempengaruhi jiwa Dipanagara adalah eyangnya dari Bangkalan di Madura, dan juga ibundanya yang bukan berdarah biru, yang berasal dari Sukoharjo. “Semua sosok perempuan tadi adalah sosok perempuan dari anak kiai.”
“Dipanagara bukan orang Jawa,” ujarnya. “Dia orang Jawa dari ayahnya, tetapi dia punya trah dan darah seperdelapan Sumbawa dan seperempat Madura.” Dalam buku Kuasa Ramalan yang terbit pada 2011, Carey menghubungkan asal-usul moyang Dipanagara tersebut dengan karakter Dipanagara yang mudah terpicu amarahnya.
Baca Juga: Dipanagara, Sebuah Nama Pembawa Sial?
Sang Pangeran Jawa itu dibesarkan dalam suasana pedesaan bersama eyang buyutnya di Tegalrejo, sebuah desa di pinggiran kota Yogyakarta—sekitar satu jam jalan kaki dari kota. Tampaknya lingkungan petani dan ulama desa turut membentuk pribadinya kelak dalam mengobarkan Perang Jawa. “Jika kita lihat penggede dalam sejarah Jawa,” kata Carey, “dari Erlangga, Joko Tingkir, Ki Pamanahan dan Senopati, sampai Dipanagara, semua lahir dan dibesarkan di areal desa. Mereka bersentuhan sekali dengan rakyat.”
Pangeran Dipanagara muncul sebagai pemimpin Perang Jawa yang berkobar pada 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Pergolakan ini disebabkan atas memburuknya tatanan ekonomi dan sosial masyarakat Jawa. Dia memberontak untuk merebut kekuasaan politik Sultan Yogyakarta dengan tujuan memulihkan kebesaran Jawa dan menegakkan Islam sebagai tatanan moral.
Perang Jawa juga telah menjadi penanda pergolakan terhebat sepanjang sejarah Hindia Belanda. Bagi orang Jawa, perang ini merupakan bentuk aksi politik demi merebut kedaulatannya kembali. Dipanagara dan laskarnya—santri, abangan, dan bangsawan—berjihad untuk mendirikan negara Islam.
Baca Juga: Dipanagara, Lelaki Ningrat yang Gemar Blusukan
Dalam perang ini, untuk pertama kalinya, orang Jawa menghimpun kekuatan dengan mengadopsi sistem organisasi militer ala Turki Usmani. Sementara, bagi Tentara Hindia Timur, untuk pertama kalinya mereka menggunakan sistem Stelsel Benteng. Semenjak laga mendera, hari-hari Jawa tidak pernah sama lagi.
Akhir perang ini ditandai dengan terjebaknya Sang Pangeran pada sebuah kunjungan bersahabat di Karesidenan Magelang. Dipanagara dijebak dan kemudian diasingkan dari Tanah Jawa. Akhir periode Perang Jawa berarti dimulainya cengkeraman kolonial di jantung tatanan Jawa. Lebih dari itu, Jawa harus bertanggung jawab atas kecamuk laga Perang Jawa.
Bagaimana teladan Dipanagara untuk zaman sekarang? Dipanagara merupakan seorang yang “tidak menolak takdir, di zaman edan dia masih tetap waras,” ujar Carey. “Dia bisa hijrah dalam setiap perubahan besar: Tegalrejo saat diadopsi, waktu dikhianati di medan perang, menulis sastra kebatinan, menyiapkan diri untuk akhirat.”
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR