Nationalgeographic.co.id—“Jadi ini tempat di mana dia lahir,” ujar Peter Brian Ramsay Carey sambil menunjuk denah bangunan yang berada dalam tembok Keraton Yogyakarta kepada kami. “Dia lahir di Keputren, seorang [berzodiak] Scorpio pada [tanggal] sebelas [bulan] sebelas tahun 1785 jam setengah lima pagi—saat sahur.”
Peter B.R. Carey, seorang Profesor Emeritus di Trinity College, Oxford, Inggris, mengisahkan ketertarikannya kepada sosok Dipanagara kepada kami pada minggu pertama November ini. Pertemuannya dengan sebuah litografi yang menggambarkan Dipanagara dan laskarnya memasuki perkemahan di Desa Matesih, telah “menjerumuskan” Carey dalam pencarian tentang sosok sejati Sang Pangeran itu selama 40 tahun.
Bayi lelaki itu bernama Bendara Raden Mas Mustahar, lahir tepat jelang fajar pada hari Jumat Wage. Dia anak dari pasangan putra sulung Sultan Hamengkubuwana II—yang kelak pada 1812 bertakta sebagai Sultan Hamengkubuwana III—dan Raden Ayu Mangkarawati. Bagi orang Jawa, konon menurut primbon, orang yang lahir pada hari pasaran Jumat Wage mempunyai sifat banyak bicara, namun hal yang dibicarakan tepat. Selain itu, dia selalu berhati-hati, namun acapkali mendapat sandungan. Kelahiran bayi ketika fajar juga kerap dikaitkan sifat pembawaannya kelak: sebagai agen pembaharu, pelopor, atau peneroka zaman.
Baca Juga: Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan
Saat remaja, namanya berganti menjadi Raden Antawirya. Kemudian dia menyandang nama Pangeran Dipanagara ketika dewasa. Kelahiran Dipanagara tampaknya sudah ditakdirkan sebagai seseorang yang kelak mendatangkan perlawanan hebat bagi Belanda.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR