Nationalgeographic.co.id—Tidak ada yang pernah berpikir bahwa bertani di Gurun Atacama akan mudah. Tantangan mengerikan untuk hidup di salah satu lingkungan terkering dan paling ‘keras’ di Bumi (dan gurun non-kutub terkering) terbukti mematikan bagi banyak orang. Gurun mungkin tempat berbahaya, namun ada bahaya lain yang timbul selain dari gurun.
Tantangan yang lebih berbahaya justru datang dari makhluk hidup yang tinggal di sana dan dari manusia itu sendiri.
Dalam sebuah studi baru, para peneliti menyelidiki sisa-sisa manusia yang wujudnya sangat mengerikan. Orang-orang yang malang itu adalah petani awal yang berupaya mengolah Gurun Atacama di tempat yang sekarang kita kenal sebagai negara Chili, sekitar 3.000 tahun yang lalu. Temuan ini dilaporkan dalam tajuk Violence among the first horticulturists in the atacama desert (1000 BCE – 600 CE), yang terbit di Journal of Anthropological Archaeology, edisi September 2021.
Jauh melampaui kesulitan bercocok tanam di tempat yang sangat gersang ini, ketegangan sosial di masa transformasi sosial dan budaya menyebabkan konfrontasi dan kekerasan yang sangat dramatis. Bukti warisannya masih dapat dilihat dengan jelas pada kerangka yang ditemukan para peneliti antropologi.
"Di gurun yang ekstrem ini, pertanian secara dramatis dibatasi dan terbatas pada teras lembah, wilayah Quebradas, dan oasis, dengan perkotakan tanah ini dipisahkan oleh pampas interfluvial steril luas yang mendominasi lanskap," tulis peneliti utama, antropolog Vivien Standen dari University of Tarapacá di Chili dalam makalah mereka.
"Jauh dari pantai yang subur, berpindah dari oasis produktif ini berarti harus menghadapi lanskap tandus tanpa air dan sumber daya untuk penghidupan. Struktur sosial, budaya, dan penggunaan lahan yang baru ini dapat memicu ketegangan sosial, konflik, dan kekerasan di antara kelompok-kelompok yang berinvestasi di bidang gaya hidup hortikultura."
Baca Juga: Temuan Mumi Burung di Gurun Atacama Chile Singkap Sisi Gelap Manusia
Untuk menyelidiki kasus tersebut, para peneliti mempelajari sisa-sisa 194 individu dewasa yang dimakamkan di pekuburan kuno di Gurun Lembah Azapa. Lembah ini pernah menjadi salah satu lembah terkaya dan paling subur di Chili utara.
Karena lingkungan sekitar gurun yang sangat kering, kerangka ini masih cukup terawetkan dengan baik. Bahkan, beberapa dari mereka masih memiliki rambut dan jaringan lunak yang bertahan lebih dari sekitar 800-600 SM.
Akan tetapi, banyak jasad para petani ini yang memiliki tanda-tanda adanya kekerasan dan perkelahian yang mengerikan.
"Dari 194 kerangka orang dewasa yang diteliti, 21 persennya menunjukkan trauma kekerasan antarpribadi, terlepas dari tingkat kelengkapan tubuh," ungkap Standen dalam jurnal. "Dari total sampel, 10 persen menunjukkan trauma perimortem (pada atau mendekati waktu kematian), sebagian besar dengan kemungkinan konsekuensi mematikan. Jumlah fraktur perimortem di tengkorak yang diamati ada 14 orang," lanjutnya.
Menurut para peneliti, banyak tanda trauma berdampak serius yang disebabkan oleh tindakan sengaja yang dilakukan oleh seseorang dalam konteks kekerasan antarpribadi. Bahkan, beberapa diantaranya merupakan pukulan mematikan, yang dilakukan secara berhadapan langsung, atau serangan dari belakang.
Baca Juga: Ilmuwan: Hutan Amazon Bisa Menjadi Pusat Pandemi Virus Selanjutnya
"Beberapa individu menunjukkan patah tulang tengkorak yang parah dan berdampak tinggi yang juga menyebabkan kerusakan besar pada wajah dan neurokranium, dengan pemisahan cranio-facial dan aliran massa otak," tulis Standen. Para peneliti juga mencatat bahwa cedera itu tampaknya disebabkan oleh senjata seperti gada, tongkat kayu, tongkat besi, atau proyektil panah.
Para peneliti menduga peristiwa itu disebabkan perselisihan atas ruang hidup dan sumber daya seperti tanah dan air. Barangkali dipicu oleh peristiwa iklim seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO).
"Faktor-faktor ini dapat memicu persaingan, ketegangan, dan konflik kekerasan antara kelompok sosial yang bersaing di Lembah Azapa ," Standen menjelaskan. "Selain itu, dalam mode ekonomi baru yang didasarkan pada penggunaan lahan dan produksi hortikultura, para pemimpin yang muncul mungkin telah mencoba untuk memegang cakupan kekuasaan dan martabat yang lebih besar dengan mencoba mengendalikan ruang-ruang produktif, menciptakan ketidaksetaraan sosial dalam kondisi yang penuh tekanan," lanjutnya.
Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Psikopat Beserta Karakteristiknya
Source | : | Science Direct,Science Alert |
Penulis | : | Agnes Angelros Nevio |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR