Dorongan peradaban yang mulai berubah ke arah modernisasi juga menjadi faktor ondel-ondel makin menghilang di tanah Betawi. Benarkah si ondel-ondel semakin terlupakan maknanya dan terpinggirkan perannya?
Pada September lalu, Neni, ibu tiga orang anak asal Purwakarta yang sedang berkunjung ke Jakarta dalam rangka wisata tampak antusias berfoto bersama ondel-ondel yang ditemui di Monas, siang itu. Tapi sebaliknya, saya mengamati sekumpulan remaja berdandan modis yang ada di dekat Neni saat mengabadikan momen ondel-ondelnya, tidak menggubris ondel-ondel sama sekali.
Sidik, salah satu warga Kemayoran, berseloroh bahwa ia merasa senang di depan rumah sekarang setiap hari ada arak-arakan ondel-ondel yang lewat. “Agar anak saya yang masih kecil kenal dengan budaya Betawi, itu dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Mencari sanggar kesenian Betawi di Jakarta pun susah-susah gampang. Salah satunya yang saya sambangi adalah Sanggar Utan Panjang. Sanggar yang berlokasi di bilangan Kelurahan Utan Panjang, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat tersebut telah dirintis sejak tahun 1983.
Pimpinan sekaligus pendiri Sanggar Utan Panjang Supandi mengutarakan, “Sanggar ini supaya anak-anak di sini ada kegiatan saja. Nah, kalau ada yang kelihatannya khusus berminat ke seni, bisa kita arahkan.”
Sanggar Utan Panjang yang menaungi kurang lebih 40 orang, dari yang masih usia anak-anak, remaja, hingga dewasa ini, merupakan sanggar yang mendapatkan lisensi dari Dinas Kebudayaan. Bang Pandi juga berdagang di pasar dan punya beberapa usaha lain. Sembilan puluh persen ondel-ondelnya disewa, baik yang hanya menyewa ondel-ondel untuk dipasang (dipajang) maupun yang menyewa beserta musik dan penampilan, di mal-mal, restoran, dan ada juga di bank.
“Kalau rusak setelah sewa, saya tidak pernah minta ganti. Masak harus saya minta ganti. Mungkin namanya sedang dipajang, tak sengaja dipegang, lalu ada yang rusak, bagian baju yang sobek, biar saja. Paling-paling kesadaran sendiri ada beri uang buat mengganti,” ujar Bang Pandi, tergelak.
Kali lain saya bertemu Siti Saleha, yang bersama suaminya mengelola Kesenian Betawi Ondel-ondel Irama Adelia sejak 2008 di Kampung Irian, Kelurahan Serdang, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Emak Leha, demikian sapaan akrabnya di kalangan tetangga sekitar, dengan ramah menerima saya di rumahnya. Kami lantas mengobrol di beranda depan rumah yang sederhana, tetapi dengan sigap wanita yang memiliki enam anak serta sudah 11 cucu ini membelikan saya minuman dingin.
“Lima tahun merintis dari nol. Pertama kali itu belum dari panggung ke panggung. Belum ada panggilan,” kenangnya saat mencerita awal mula membuat dan menyewakan ondel-ondel. Sekarang nama Ondel-ondel Irama Adelia telah cukup dikenal di daerah itu.
Kadang mereka hanya bermain di perkampungan-perkampungan yang dekat dengan rumah, seperti Sumur Batu dan Pademangan. Tapi tak jarang mereka pergi ngamen ke kawasan Kedoya, Otista, Kranji, Cililitan, sampai Bekasi. Pergi pagi, pulang sampai larut malam dilakoni.
“Anak-anak itu juga suka tidak mau pulang. Katanya, ’kalau belum dapat uang, ga enak pulang’,” Emak Leha menirukan. Ia juga mengatakan, saat sepi mungkin sedikit hasil yang didapat, dalam sehari hanya Rp15.000 untuk tiap-tiap orang.
Ocol, salah seorang anaknya, menuturkan, setiap kali harus tampil ia tidak merasa capek karena larut dalam permainan. “Hanya jika harus main yang jauh-jauh, saya merasa capek dalam perjalanannya,” imbuhnya.
Dulunya...
Konon, ondel-ondel telah ada sebelum Islam tersebar di Jawa. Para ahli memperkirakan ondel-ondel ada di Jakarta sejak berabad lalu. Seorang pedagang asal Inggris, W. Scot, mencatat dalam bukunya jenis boneka seperti ondel-ondel sudah ada tahun 1605. Dahulu, fungsinya sebagai penolak bala atau semacam azimat.
Ondel-ondel dijadikan personifikasi leluhur penjaga kampung yang tujuannya untuk mengusir roh-roh halus yang bergentayangan mengganggu manusia. Oleh karena itu tidak heran kalau wujud ondel-ondel pada saat itu menyeramkan.
Lantas ondel-ondel mulai dibuat untuk keperluan upacara. Bentuknya yang raksasa dianggap memiliki kekuatan gaib. “Dulu dipercayai ondel-ondel itu ada ‘isinya’. Dulu juga disebutnya bukan ondel-ondel, tapi barongan,” Ocol memberitahu saya.
Turun-temurun kisah kekuatan gaib ondel-ondel ini diwariskan. Sebab mitos inilah, orang Betawi jadi mengantepi bahwa kekuatan ondel-ondel akan menjaga keselamatan kampung beserta isinya dari roh jahat. Upacara bersih desa atau sedekah bumi selalu menampilkan ondel-ondel.
Sekarang, ondel-ondel sudah berubah memakai topeng atau kedok, dan wujudnya pun sudah tidak menyeramkan lagi. Ondel-ondel dimunculkan untuk berbagai acara. Saat mengarak pengantin khitan, perkawinan, peresmian, pawai, dan sebagainya. Gambar foto dari sejarawan Rushdy Hoesein yang dilansir dari milis Historia Indonesia membuktikan hal itu: pergeseran fungsi seiring perjalanan waktu.
Dikemukakan pula bahwa begitu masa Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), ondel-ondel menjelma seni pertunjukkan rakyat yang menghibur. Biasanya disajikan dalam acara hajatan rakyat Betawi, penyambutan tamu kehormatan, dan penyemarak pesta rakyat.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR