Selain orang-orang seperti Hesti dan Rosa yang melakukan proses menembok, ada pula perajin yang melakukan proses isen-isen atau mengisi gambar pelengkap ornamen utama pada batik.
Proses yang demikian panjang, sebelum akhirnya proses nglorod, yakni penghilangan malam (lilin) dengan air mendidih.
Sebelum di-lorod, masih ada tahapan lain pekerjaan, yakni pengecekan ulang atau pengendali mutu produk, semacam kontrol kualitas (quality control). Untuk tugas ini, Mugiono (43), yang sudah berpengalaman sekitar 12 tahun, menjadi pekerja satu-satunya. Ia baru sekitar satu tahun bekerja di sanggar itu.
Berbekal kompor kecil dengan wajan berisi air mendidih, batang bambu berujung kain, batang besi, dan soda as, Mugiono menyisir dengan teliti setiap bagian kain. Ia bertugas memperbaiki kekurangan-kekurangan pada kain itu.
Jejak-jejak lilin yang mbleber, menjadi incarannya. Untuk memperbaiki satu atau dua tetes jejak lilin yang tumpah ke mana-mana itu, ia butuh waktu sekitar 1 jam. ”Pernah sampai 50 tetes,” kata Mugiono.
Hari itu Mugiono memeriksa batik motif pesisiran dengan gambar burung dan flora di atas kain ukuran 2,4 meter x 1 meter. Hingga tengah hari itu, sudah ada 10 tetes lilin ditemukannya dan diperbaiki.
Potongan-potongan kecil kertas pembungkus rokok keretek ditempelkan dekat hasil perbaikan itu. ”Agar diisi (isen-isen) lagi oleh orang lain,” kata Mugiono. Jika sudah selesai dan siap dipasarkan, ia memperkirakan harga jualnya ada pada kisaran Rp 15 juta.
Proses pemeriksaan kualitas dan perbaikan itu merupakan yang paling menuntut ketelitian dan ketelatenan. Pasalnya, inilah proses yang akan menentukan bagaimana kualitas akhir selembar kain batik.
Kualitas itu akan sepadan dengan harga jual yang ditawarkan. Sebab, kain batik bukanlah sekadar produk kerajinan. Ia adalah karya seni yang layak dihargai.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR