Namun, seiring berjalannya waktu, An Nasher mulai geram dengan sikap Belanda yang mendiskriminasi beberapa klub bentukan non-Eropa, seperti bentukan etnis Cina, Arab, hingga pribumi. Hal tersebut mendorong pemboikotan terhadap NIVB. Terlebih setelah masuknya Jepang, itulah hal yang menyebabkan An Nasher berganti nama.
Pemerintahan Jepang tidak menginginkan segala bentuk nama peninggalan Belanda, itulah yang menyebabkan An Nasher berubah menjadi Al Vouz yang juga memiliki arti sama, kemenangan. Nama tersebut juga tak bertahan lama, pasca kemerdekaan 1945, Al Vouz kembali mengubah namanya menjadi Assyabaab.
Tercatat, selain mengikuti Galatama dan menjadi juara pada Divisi I Galatama tahun 1990, Assyabaab juga pernah mengikuti Piala Bentoel 1991, Piala Tugu Muda 1991, Piala Kasogi 1993, dan Piala Indocement 1993.
Assyabaab yang terus berkembang, akhirnya melahirkan beberapa talenta hebat seperti Fauzi Hasan, Alwi bin Syech Abu Bakar, Saleh Mahri, dan Husain bin Agil. Mereka kemudian dibeli oleh klub sekaliber Persebaya dan memperkuat Tim Nasional Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, Assyabaab perlahan tenggelam seiring terjadinya krisis pada 1997, ada juga perpecahan internal di Surabaya. Assyabaab kini terlempar menjadi klub amatir dan masih dapat di jumpai dalam surat kabar dan media-media lokal di Surabaya.
Source | : | VERLEDEN: Jurnal Kesejarahan |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR