"Nelayan yang tak kenal takut, seringkali menghilang ditengah laut karena hiu , serta penyakit yang disebabkan oleh penyelaman laut dalam yang berulang menggunakan batu yang diikatkan ke kaki mereka" tambahnya.
Pada 1920-an, karena runtuhnya perdagangan mutiara, terjadi kelangkaan mata pencaharian dan kemiskinan merajalela, masyarakatnya kekurangan gizi, dan berbagai penyakit menjangkiti negara itu. Kehidupan yang sangat berat dilalui penduduk Qatar saat itu. Qatar yang merupakan negara jajahan Inggris, tak terlepas dari campur tangan Barat. Pada awal tahun 1922, Mayor Frank Holmes mulai memerhatikan sumber daya minyak Qatar.
"Ia berhasil membantu negara-negara Timur Tengah dalam memperoleh konsesi minyak di Arab Saudi, Kuwait dan Bahrain pada 1920-an. Namun, gagasannya untuk menemukan kilang minyak berhenti, setelah pemerintah kolonial Inggris di Qatar melarangnya melakukan penggalian" tulis Rasoul Sorkhabi dalam tulisannya berjudul The Qatar Oil Discoveries pada 2010.
Baca Juga: Berebut Ladang Minyak, Lelakon Perang Dunia Kedua di Kilang Palembang
Memasuki tahun 1925, pembatasan tersebut tampaknya telah mereda. Hal itu dibuktikan karena pada awal tahun 1926, George Martin Lees, seorang ahli geologi dari Anglo-Persian Oil Company (APOC, kemudian menjadi British Petroleum), mengunjungi Doha dan melakukan perjalanan satu hari ke beberapa tempat di Qatar.
Sebelum pergi, Lees juga mendapat izin dari Syekh Abdullah bin Jassim al-Thani (penguasa Qatar saat itu) untuk menjelajahi Qatar selama dua tahun berikutnya. Hanya saja, ia kesulitan untuk menemukan sumber daya minyak di Qatar.
Standard Oil Company of California telah berhasil menemukan cadangan minyak di Bahrain, sehingga APOC merasa khawatir apabila Amerika Serikat dapat menemukan cadangan minyak di Qatar.
Akhir tahun 1932, APOC akhirnya mengirim dua ahli geologi, E.W. Shaw dan P.T. Cox, ke Qatar. Setelah observasi dilakukan selama Januari hingga Maret 1933, mereka menemukan bahwa antiklin Dukhan di Qatar tenggara memiliki kesamaan dengan bidang penemuan minyak di Bahrain.
Baca Juga: Takdir Nusantara, Dari Jelajah Rempah Sampai Jelajah Emas Hitam
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | GeoExpro |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR