Nationalgeographic.co.id - Semasa Hindia Belanda, pedofilia identik dengan homoseksualitas. Salah satunya tergambar dalam catatan harian Djalan Sampoerna milik Soetjipto pada 1920-an dengan seorang laki-laki yang usianya jauh darinya.
Di Nusantara ada pula praktik pedofilia, sebagaimana yang diamati Snouck Hurgronje dalam Atjeh Verslag pada 1892. Yakni, pria Aceh menyukai anak laki-laki Nias, dan menjadikannya budak yang biasanya dilatih menari Rateb Seudati.
Achmad Sunjayadi dalam buku Bukan Tabu di Nusantara memaparkan, Rateb ini biasanya dilakukan oleh 15 sampai 20 anak laki-laki tampan yang mengenakan pakaian perempuan. Tarian itu biasanya diiringi sajak oleh para seudati dan para dalem dengan corak erotis, dan kadang-kadang berunsur homoseksual.
"Namun, merupakan pandangan keliru jika menganggap penari seudati selain untuk seni, juga dapat digunakan untuk praktik perjantanan (pederasty), hubungan seksual antara pria dewasa dan anak laki-laki," tulisnya.
Selain di Aceh, Achmad juga memaparkan laporan dari pejabat kesehatan kolonial Julius Jacobs pada 1883 di Banyuwangi lewat tari Gandrung. Tarian itu berisi anak laki-laki berusia 10-12 tahun yang menari genit, dan disambut para laki-laki dewasa dengan mengikuti tarian, menciumi, dan memberi uang keping. Menurut Jacobs, praktik ini dianggap hal biasa bagi orang-orang Bali.
Meski sering identik dengan homoseksual, di mata hukum Hindia Belanda dan di Belanda sendiri, pedofilia berbeda dengan penyuka sesama jenis. Pedofilia pada Pasal 292 Wetboek van Strafrecht adalah mereka yang berhubungan seksual dengan anak di bawah umur 21 tahun. Kurang dari itu sudah dianggap sebagai tindak kriminal, bila tanpa ada hubungan pernikahan yang diatur UU dan peraturan adat.
Baca Juga: Buku Harian Homoseksual dan Reserse Polisi Moral Zaman Hindia Belanda
Pada 1925, Achmad memaparkan, sejumlah kota membentuk zedenpolitie (polisi susila) yang menjadi bagian dari reserse kepolisian. Tujuannya adalah mencegah praktik asusila seperti pedofilia dan prostitusi.
Di masa itu, anak laki-laki bahkan berkeliaran untuk melacurkan diri di jalanan kota dan menjadi target operasi polisi susila. Polisi susila sendiri bekerja sama dengan biro pemerintah di bidang pembernatasan perdagangan perempuan dan anak-anak, dan biro pengawasan pengeluaran ilegal Hindia Belanda.
"Pola, konteks, latar belakang, objek, serta reaksi menangani gejala tersebut mengensankan bahwa aksi kepolisian berkaitan dengan persaingan dan perebuatn kekuasaan," ungkap Achmad. "Pemicu utamanya kemungkinan bukan sekadar semangat untuk membersihkan moral masyarakat dari praktik penyimpangan perilaku seksual."
Baca Juga: Inilah Penyebab Seseorang Bisa Menjadi Pedofil
Selain itu kepolisian juga menjadi gencar melakukan operasi besar-besaran terhadap pedofilia selama 1938-1939 di seluruh Hindia Belanda. Sekitar 200 pria, mayoritas orang Eropa dan pejabat tinggi, dicurigai melakukan pedofilia.
Saking gencarnya, banyak surat kabar yang mengikuti kasus, lantaran belum pernah sebelumnya ada operasi sebesar periode ini.
"Perburuan tersebut di muat dalam pemberitaan surat kabar di Hindia Belanda yang kemudian dikenal dengan istilah zedenschandaal (skandal asusila)," ungkapnya. "Selain istilah zedenscahndaal, pemberitaan surat kabar di Hindia juga menggunakan istilah-istilah seperti 'grote schoonmaak' (pembersihan besar-besaran), 'zedenschoonmaak' (pembersihan moral), dan 'reinigingsproces' (proses pembersihan/pemurnian) dalam artikel mereka.
Istilah itu dimuat dalam judul berita, seperti De Indische Courant tanggal 28 Desember 1938 yang menulis "Het zendenschandaal op West Java (Skandal asusila di Jawa Barat)" dan De Sumatra Post 7 Januari 1939 berjudul "Het zedenschandaal op Java (Skandal asusila di Jawa)".
"Hal yang mengherankan adalah pada periode sebelumnya tindakan ini dibiarkan karena yang menjadi sasaran adalah kegiatan prostitusi yang berhubungan dengan perdagangan perempuan dewasa dan anak," Achmad berpendapat.
Pada 1936, Christelijke Staaspartij (CSP) atau Partai Kristen di Volksraad memanfaatkan momen pemberantasan pedofilia, yang kebanyakan berhubungan dengan homoseksual, untuk memohon pemerintah untuk memberantasnya juga.
Mereka menganggap, pedofilia dan homoseksual sama-sama menyimpang dan berdosa. Perilaku homoseksual dianggap sebagai merendahkan martabat orang Eropa, dan harus lebih mulia dari pribumi.
"Ditambah lagi dengan kecemasan terhadap gejala perilaku penyimpangan seksual dari pejabat-pejabat tinggi Eropa serta untuk mengantisipasi gerakan pembersihan moral oleh masyarakat pribumi," ungkap Achmad. "Pengurus CSP melihat bahwa masyarakat Eropa perlu menunjukkan bahwa mereka sedang tidak melemah, tetapi justru bertambah kuat."
Baca Juga: Membedah Kondisi Psikologis dan Isi Kepala dari Penjahat Kelamin
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR