“Saya terpaksa mengemis, karena tak ada yang mau menerima saya bekerja. Mereka jijik dan takut melihat saya,” keluh mantan penderita lepra yang biasa kita lihat di esai foto media massa. “Kasihan ya ….” Hanya beginilah biasanya tanggapan kita. Padahal, kita bisa meringankan penderitaan mereka, agar terhindar dari cacat seumur hidup dan memberi kesempatan hidup lebih baik,secara nyata. Caranya?
“Lewat Bank Jaringan Tubuh,” saran Nazly Hilmy, Ph.D, Ahli Peneliti Utama dari Bank Jaringan Riset, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi – Badan Tenaga Nuklir Nasional (P3TIR-BATAN) – selanjutnya disebut BRTB.
Prinsipnya sama seperti donor darah, kornea mata, ginjal, atau sumsum tulang belakang yang telah lebih dulu kita kenal. Sementara, banyak bagian lain dari tubuh kita yang juga bisa kita donorkan. Jadi, seperti Palang Merah Indonesia (PMI) yang mengelola donor darah, BRTB adalah organiasi amal yang bertugas meneliti dan mengembangkan teknologi pengawetan jaringan biologi agar bisa dicangkokkan pada pasien yang membutuhkan.
Jaringan biologi, ditinjau dari bahan baku, proses dan pemakaiannya terbagi dua. Yaitu bank jaringan sel hidup (viable) seperti bank darah, kornea dan organ (ginjal, hati). Dan bank jaringan sel mati (non-viable) seperti kulit, tulang, dan amnion – selaput tipis, bening, kuat dari bagian ari-ari yang menghadap ke air ketuban. Bisa berasal dari donor hidup, baik manusia maupun hewan, dan dari donor jenazah, yang hasilnya bisa diterapkan pada bedah tulang, mata, gigi dan mulut, pemulihan luka bedah caesar dan vagina, serta penutup luka bakar, terbuka dan lepra. BRTB ini berfokus pada bank jaringan sel mati.
Pengawetan jaringan biologi di Indonesia telah dimulai sejak 1986 untuk amnion, dan sejak 1992 mengembangkan penelitian ke jaringan tulang. Pemakaian jaringan biologi ini dalam kedokteran telah dikembangkan dokter bedah Jerman, Karl Thiersch (1822-95) sejak 1886.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR