Saya selalu berusaha keras tak melewatkan pemandangan perjalanan siang, apalagi ke tempat yang baru pertama kali saya kunjungi. Kami menuju Danau Sano Nggoang di Dusun Nunang, kawasan 30.142 hektare Hutan Mbeliling. “Di barat daya pulau yang secara umum terkenal kering ini, Mbeliling adalah oasis. Bertahun-tahun tetap utuh, menghijau walau di puncak kemarau,” jamin Tengku Budi Aulia, ketua Burung Indonesia Program Mbeliling.
FAO/UNDP pada 1982 mengusulkan hutan tropis dataran rendah ini sebagai Suaka Margasatwa karena nilai flora fauna dan tangkapan air 4 daerah aliran sungai penting. Memasok kebutuhan air sampai Labuan Bajo. Kebetulan ada dana dari Kedubes Denmark pada 2001-2002 terkait pemekaran Kabupaten Manggarai Barat pada 2003. LSM Danida & Dove menjalankan program Pelestarian Mbeliling selama Juni 2007-2010. Mengelola hutan Mbeliling dengan peran serta warga.
Tak mungkin menjalankan program pelestarian tanpa membuat warga sejahtera. Untungnya ada kearifan lokal menjaga hutan : Laat Puar (Laat = memantau secara berkala dan menindaklanjuti; Puar = hutan).
Wisata lestari Mbeliling difokuskan pada sekitar 70 kelompok masyarakat dan 27 desa sekitar hutan yang mencakup 3 kecamatan kantong ekowisata: Mbeliling, berpusat di Dusun Roe; Tewasano di Dusun Cecer, dan Sano Nggoang di Dusun Nunang.
Trans Flores berkelak-kelok di lereng terjal dan berbukit. Sekitar 1,5 jam kemudian, di km 30, sawah berundak-undak menghijau di sisi kanan jalan. Ada papan penunjuk trekking ke puncak Gunung Mbeliling 1.239 m dpl, dimulai dari Dusun Roe, Desa Cunca Lolos yang dikelola warga bersama LSM Swiss Contact. Daya tarik utamanya adalah 30 m air terjun Cunca Rami di 450 m dpl.
Perjalanan selanjutnya lebih menantang. Dari Labuan Bajo ke Werang, ibu kota Kecamatan Sano Nggoang sudah beraspal, tapi dari Werang 339 meter ke Danau Sano Nggoang 700 meter, jalan berbatu. Augus kerja keras. Sampai suatu kali, mobil gagal melewati jalan terjal yang dilewati sungai–khas daerah kawasan taman nasional dan pedalaman seperti di TN Meru Betiri, Jawa Timur dan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Iwan yang berhasil mengantarkan mobil pertama ke kelokan menanjak, menggantikan Augus. Mobil kami pun menyusul mulus. Lokasi yang sulit dicapai acap dianggap kendala pengembangan ekowisata. Tapi, kalau bagus, bisa jadi pisau bermata dua: kelestarian alam bisa terancam. Jadi, lebih dulu harus ada penyadaran warga.
Hari sudah menggelap ketika permukaan danau mulai terlihat, mengintip dari barisan pohon. Jalan berkelak-kelok di sisi 513 ha danau sedalam 600 m itu. Tiba-tiba kami melintas di antara deretan rapi rumah di kanan kiri. Kami telah tiba di. Dusun Nunang, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang.
Kami menginap di rumah panggung kayu, kediaman kepala desa Wae Sano (Air Danau), Yosep Subur. Diawali upacara di ruang tamu, toi mbaru dan caca selek, kata bersambut dalam bahasa Kempo-Manggarai disertai pa’u manuk curu (ayam jantan putih pewujud suara hati tuan rumah), sebotol pa’u tuak bongko (lambang air sumber kehidupan), sehelai Rp 50.000. Diakhiri makan malam nasi merah, sayur daun ubi, dan ikan cara, sejenis teri dari perairan Komodo yang dibeli di pasar desa Werang dalam bentuk basah atau kering yang hanya tersaji bila ada tamu.
Listrik tenaga matahari sumbangan Dinas Pertambangan setempat sejak 2008 hanya kuat menerangi beberapa titik lampu di tiap rumah dari sekitar 200 keluarga di dusun ini sampai pk 22:00. Tak soal. Tidur dengan lampu menyala atau mati, sama nyaman. Yang terpenting, sekitar 10 m di belakang rumah, ada dua bilik bambu peturasan–satu bilik mandi, satu bilik kakus jongkok, dengan bak terisi air bersih. Kali ini, bekal sarung hanya jadi selimut. Bukan penutup tubuh kala mandi dan salin pakaian di kamar mandi terbuka dekat pancuran atau tepi sungai – kemungkinan “terburuk” yang tak saya temui di sini. Ranjang besi dan tikar dengan sleeping bag digelar di kamar-kamar terbuka serba guna. Begitu menyentuh bantal, saya langsung terlelap.
Langkah-langkah kaki hati-hati di lantai kayu, sejuk udara yang menerobos dari kisi-kisi jendela, dan aroma sedap kopi Flores yang menguar dari ruang tamu, menyadarkan hari telah pagi. Saya ke beranda, menghirup udara segar, melempar pandang dan turun ke kebun yang dipenuhi batang pohon kopi, cokelat, cengkeh, kemiri, dan tanaman rambat lada. Hasil Bumi andalan Indonesia yang selama ini hanya saya kenali sudah dalam bentuk olahan butiran bahkan bubuk.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR