Nationalgeographic.co.id—Apa yang telah dicapai seseorang, tentu tidak terlepas dari usaha dan pengaruh di masa lalu. Begitu pula Soeharto yang pernah menjadi presiden ke-2 Indonesia yang menjabat lebih dari tiga dekade lamanya.
Jurnalis Australia, David Jenkins menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi perjalanan hidup Soeharto, seperti sosial budaya, politik, agama, ekonomi, dan militer yang kompleks semasa mudanya.
"Nilai-nilai ini yang sangat berpengaruh pada masa mudanya. Terutama dia berasal dari keluarga yang kental dengan kebudayaan Jawa dan Islam," ujar Jenkins dalam webinar peluncuran bukunya, Young Soeharto: the making of a soldier (1921-1945), yang digelar oleh Australian National University Indonesia Project.
Penelusuran yang Jenkins lakukan adalah mencari tahu orang-orang yang pernah dekat dengan Soeharto, baik di awal 32 tahun masa menjabat presiden atau 44 tahun sebelumnya. Masa awal itu membuka tabir apa saja yang membuat karakternya, hingga masuk dunia kemiliteran.
Soeharto muda berasal dari keluarga yang mengikuti tradisi Jawa. Istrinya, Siti Hartinah (Tien Soeharto), yang bahkan memiliki darah biru dari keluarga ningrat keraton Surakarta.
"Dia sangat dipengaruhi oleh tradisi ningrat Jawa, dan bagaimana, dan tradisi wayang, dan sebagainya perilaku yang tepat sebagai keprajuritannya dan yang lainnya--dan kebengisan dan semua itu. Jadi Anda melihat semua hal ini terbawa ke depan (masa tua Soeharto)," papar Jenkins.
Selain keluarga, lingkungan sekitarnya membuat Seoharto mengamati sistem kolonial pada ketentaraan, baik di masa Hindia Belanda maupun kependudukan Jepang. Inilah yang memberikan pengaruh baginya untuk membuat sistem kepemimpinannya, yang diperkuat dengan tradisi otoriter Jawa.
"Jadi dia tidak mungkin menjadi (orang yang memeluk paham) demokrat liberal pada 1925 hingga 1945, setelah pengaruh-pengaruh dari masa lalu ini."
Baca Juga: Bagaimana Budaya Barat Menjadi Ajang Anak Muda Menyinggung Orde Baru?
"Banyak karakteristik politik yang dibawanya adalah hal-hal yang bisa dilihat bahwa banyak yang berpendapat dia sangat dipengaruhi tradisi Jawa. Dan tradisi Jawa jelas sangat penting, tetapi banyak keterampilan yang dibawanya sebenarnya keterampilan politik universal."
Soeharto seperti presiden otoriter lainnya, tetapi memiliki pertimbangan pembangunan ekonomi yang kuat. Jenkins melihat cara ini mirip kasusnya di Korea Selatan, atau pemimpinan Lee Kwan Yew di Singapura, dan Deng Xiaoping di Tiongkok. Cara pembangunan ini dipengaruhi dengan gaya Barat yang dicampur dengan pemahaman Jawa.
"Dengan Djojo (Sumitro Djojohadikusumo), semua menunjukkan bahwa Djojo sebagai penasehat ekonomi seniornya, sangat bagus dan sangat hormat, dan tahu bagaimana memerankan peranan pandangan Jawa. Dia sendiri orang Jawa," lanjut Jenkins.
Baca Juga: Bagaimana Budaya Barat Menjadi Ajang Anak Muda Menyinggung Orde Baru?
Perspektif tradisional Jawa yang diadopsi untuk pemerintahannya, lebih banyak pengaruhnya dibanding nilai keagamaan Islam yang dipeluknya. Soeharto sendiri bahkan sempat mengenyam sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta semasa remajanya yang tentu memberikan pandangan agama Islam.
Aspek religius ini memang penting baginya, tetapi digunakan untuk menangkar ancaman politik islam yang berkembang pesat pada masanya.
"Kita lihat itu tercermin begitu kuat selama masa kepresidenannya. Kecirugaannya terhadap islam atau setidaknya politik Islam," terang Jenkins.
Baca Juga: Rentetan Praktik Pembredelan pada Media Massa oleh Orde Baru
"Penolakannya untuk memberikan para pemimpin politik Muslim yang berkepentingan. Setelah mereka (para pemimpin Muslim) membantunya menghancurkan Komunis, dan itu mengarah pada beberapa krisis besar." Bahkan pada 1970-an, Soeharto membuat undang-undang bagi organisasi masyarakat, tak terkecuali Islam, harus sesuai dengan paham Pancasila.
Buku Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945 yang dipublikasikan tahun ini menjadi pelengkap catatan biografi yang dibuat Jenkins. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat buku ini, dia mengaku, membutuhkan waktu yang sangat lama, karena pengumpulan data dan catatannya yang sangat luas untuk mengetahui siapa saja yang dekat dengan Soeharto.
Selain itu, ia juga pernah dilarang berkunjung ke Indonesia dari 1984 hingga 1994, karena buku biografi Soeharto yang pernah ditulisnya, Suharto and His Generals Indonesian Military Politics 1975 - 1983. Buku itu juga sempat dilarang terbit dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh pemerintah Orde Baru.
Baca Juga: Bagaimana Peristiwa Masa Lalu Secara Tak Langsung Memicu Terorisme?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR