Di Museum Taman Prasasti Jakarta, tampak sebuah monumen berdiri kokoh. Di atasnya, terdapat tengkorak yang tertancap pada ujung tombak. Di dinding monumen, tertulis kalimat dalam bahasa Belanda dan bahasa Jawa.
“Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan pada si jahil terhadap negara yang telah dihukum Pieter Erberveld. Dilarang mendirikan rumah, membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini, sekarang dan selama-lamanya. Batavia, 14 April 1722”
Tulisan tersebut bercerita mengenai asal muasal sang monumen, sebagai peringatan atas hukuman yang dijatuhkan pada pemberontak Belanda di masa lalu. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan peristiwa pecah kulit.
Pieter Erberveld ialah keturunan Indo dan merupakan tuan tanah kaya raya yang tinggal di kawasan Pangeran Jayakarta. Suatu waktu, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) sebagai pihak yang berkuasa ingin memperluas wilayah dan menyita tanah-tanah di Batavia, termasuk tanah milik Pieter Erberveld. Tanah-tanah tersebut disita tanpa adanya ganti rugi.
Tidak terima dengan hal tersebut, Pieter Erberveld pun merencanakan sebuah pemberontakan. “Kebetulan pada saat itu, banyak pemberontak lokal. Erbervel dan para pemberontak tersebut merencanakan kudeta,” cerita Aji, pemandu dari Komunitas Love Our Heritage (LOH).
Pemberontakan direncanakan saat perayaan tahun baru, ketika pihak Belanda sedang bersenang-senang merayakan pergantian tahun hingga mabuk. Sayangnya, rencana pemberontakan mereka dibocorkan oleh seorang pembantu Pieter Erberveld sendiri.
Menjelang perayaan tahun baru, Erberveld dan rekan-rekannya justru ditangkap terlebih dahulu oleh pihak VOC. Mereka pun diberi hukuman yang keji karena telah memberontak.
Kedua tangan dan kaki mereka diikat pada tali tambang. Keempat ujung tali tambang kemudian diikatkan pada kuda-kuda pilihan yang sangat kuat. Kemudian, kuda-kuda tersebut dilecut hingga berlari ke arah-arah yang berlawanan. Badan Erberveld dan rekan-rekannya pun terkoyak. Daging mereka terburai, kulit mereka pecah. Itulah mengapa peristiwa tersebut diberi nama peristiwa pecah kulit.
“Itu lah hukuman yang diberikan oleh Belanda terhadap siapa pun yang memberontak. Setelah hukuman tersebut, dibangunlah tugu peringatan atas peristiwa tersebut oleh Belanda. Ada tengkorak, karena kepala mereka juga dipenggal,” jelas Aji.
Monumen ini hanyalah satu dari sekian banyak prasasti bersejarah yang terdapat di Museum Taman Prasasti. Sebagai tempat pemakaman pertama di dunia, museum ini menyimpan nisan dari makam isteri Thomas Stamford Raffles, peti jenazah Soekarno dan Hatta, monumen peringatan Soe Hok Gie, serta banyak prasasti lainnya.
Di sini, patung dan nisan bergaya Eropa menjadi pemandangan biasa. Menjadikan Museum Taman Prasasti berbeda dengan museum maupun taman pemakaman lainnya di Jakarta. Menggambarkan peradaban kolonialisme yang tersisa di Jakarta.
__________________________________
Catatan dari Editor: Monumen ini merupakan replika dari prasasti asli yang tersimpan di Museum Sejarah Jakarta, setelah selamat dari penyerangan Tentara Jepang, 1942. Bangunan replika awalnya didirikan di lokasi yang sama di Pangeran Jayakarta—daerah tempat Erberveld tinggal—oleh Pemerintah Kota tahun 1970. Namun kemudian pada 1986 lokasi tersebut dibongkar untuk dijadikan ruang pamer mobil, sehingga replika dipindahkan ke Taman Prasasti sampai kini.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR