Warga Tutsi di Desa Jabiro, yang tinggal di punggung bukit, wilayah Muhanga di barat daya Rwanda, telah mendengar desas-desus tentang sekelompok laki-laki yang berasal dari ibu kota, Kigali.
Mereka sudah tahu tentang satu-satunya unjuk rasa warga Hutu di wilayah itu. Tapi mereka tidak memahami apa yang terjadi hingga minggu ketiga April 1994. Ketika itu, warga mulai mendengar teriakan yang datang dari desa-desa yang ada di bukit tetangga. Asap hitam membubung ke langit di atas peternakan yang ada di dekatnya. Lalu, teriakan semakin keras, asap pun kian menebal.
Pada 23 April para pembunuh tiba, sebuah bus penuh dengan laki-laki. Awalnya mereka mengaku mencari para pejuang Front Patriotik Rwanda (RPF), kelompok pemberontak yang dipimpin wargaTutsi yang ingin menggulingkan pemerintahan yang dipimpin warga Hutu.
Tak lama segera menjadi jelas. Mereka hanya mencari warga Tutsi. Mereka adalah Interahamwe, milisi warga yang telah diaduk ke dalam hiruk-pikuk propaganda pejabat dan lagu kebangsaan serta kekuatan Hutu di radio. Lalu, mereka dibekali senjata oleh pemerintah. Kelompok ini direkrut dari seluruh Hutu Jabiro.
Pada penghujung hari itu, kelompok Interahamwe dan kaki tangannya di desa mendirikan penghalang jalan di kaki bukit.
Ketika warga desa kembali dari ladang dan anak-anak pulang dari sekolah, mereka dihentikan. Tanda pengenal diminta. Jika mereka Tutsi, atau campuran keturunan Tutsi dan berdarah Hutu, mereka hampir pasti dimutilasi dan dibunuh.
Mulanya, pembunuhan itu dilakukan tidak secara terang-benderang, terhalang oleh pepohonan. Tapi, kemudian eksekusi dilakukan di jalanan.
Para pembunuh memenggal kepala dan tubuh warga dengan parang. Mereka memotong lengan dan kaki, menerjang tangan dengan sabit dan pisau. Kelompok ini menghancurkan tengkorak dengan pentungan, mencungkil dan menusuk tubuh dengan batang logam dan tongkat yang tajam. Itu semuannya berlangsung selama berjam-jam, bahkan berhari-hari. Akibatnya, mayat menumpuk di tepi jalan.
Bulan Mei, tidak ada lagi warga Tutsi yang hidup di Jabiro. Mereka yang beruntung, berhasil lolos dari pembantaian itu. Namun, sebagian besar telah dibunuh. Bulan Juli, tiga dari empat warga Tutsi di Rwanda tidak ada lagi.
Sembilan belas tahun, sepuluh bulan, dan tiga minggu kemudian, penduduk Jabiro berpikir tentang kejadian pada bulan April itu. Kini, mereka duduk dengan sabar di sebuah pusat kegiatan masyarakat desa. Di luar, ada pemandangan Rwanda yang luar biasa dari lereng bukit bertingkat dan perkebunan pisang menghampar, hijau mencolok.
Korban dari minoritas suku Tutsi ada di sana, bersama dengan anak dan cucu mereka. Ada juga beberapa warga setempat, dari mayoritas suku Hutu yang telah mencoba membunuh mereka. Mereka semua berkumpul untuk mendiskusikan dengan saya, warisan genosida dan untuk mempertimbangkan, sekali lagi, bagaimana cara melanjutkan hidup keseharian dan bernegara, yang sudah berubah pasca peristiwa itu.
Generasi yang hilang
Diperkirakan satu juta orang tewas dalam genosida tahun 1994. Penduduk Rwanda telah membaur kembali, dan ada lebih dari empat juta warga pada hari ini yang belum lahir saat kejadian itu.
Ekspresi mereka tenang. Suara mereka stabil. Ini adalah wilayah psikologis kekeluargaan. Tentu saja, warga asal Jabiro, terutama yang lebih tua, telah berpikir tentang genosida berkali-kali. Tapi ketika tidak melakukan hal itu, mereka akan berpikir tentang hal itu oleh keputusan resmi.
Wartawan Philip Gourevitch mengamati genosida Rwanda sebagai "kengerian, kebodohan, kotor, semata-mata kekeliruan - tetap membatasi suatu wilayah," dan akan tetap begitu. Tapi membatasi kengerian justru yang diminta agar dilakukan warga Rwanda selama dua dekade ini.
Sebagian besar orang dewasa di tengah masyarakat telah duduk melalui gacacas, pengadilan setempat di mana lebih dari 100.000 pelaku genosida mengakui kejahatan dan menyerahkan diri kepada penilaian tetangga mereka. Para pelaku telah mengambil bagian dalam pertemuan yang tak terhitung jumlahnya .
Di jalan dari pusat komunitas ada pusat peringatan resmi genosida kabupaten, bangunan yang paling mengesankan dan paling baik dirawat sepanjan radius beberapa kilometer di situ. Dalam peti mati dan kemasansederhana tersimpan tulang dan tengkorak keluarga mereka.
Saya meminta mereka untuk memberitahu bagaimana, tepatnya, warga Jabiro bisa kembali berkumpul setelah genosida. Mudah untuk berbicara tentang pengampunan. Tapi bagaimana mereka benar-benar menjalaninya?
Seorang pria tua yang mengenakan blazer corduroy dengan ukuran terlalu besar untuknya dan celana yang kotor berdiri. "Kami hidup bersama," katanya. "Tidak ada masalah di antara kami." Itu saja.
Seorang pria lain bangkit dan menjelaskan. Bahwa sebelum 1994, warga Jabiro telah dikenal harmonis. Warga Tutsi dan Hutu menikah, bekerja sama, berhubungan dengan baik. Dan memang benar, setelah genosida dan bertahun-tahun perang saudara, semua orang takut sama lain. "Tapi kita sudah tahu bagaimana hidup bersama. Jadi, datang kembali bersama-sama, kita ingat bagaimana kita biasa hidup."
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR