Demikian yang di sampaikan Yuli Kusworo, koordinator Arsitek Komunitas (Arkom) yang telah melakukan pemetaan di desa Jagalan, Kota Gede Jogyakarta. Jagalan desa tempat lahirnya pusat kerajinan perak Kota Gede, sayangnya jumlah pengrajin perak di sana terus menyusut dari tahun ke tahun.
“Pengrajin perak ini yang dulunya banyak sekali sekarang hilang. Tinggal 22 orang di lima (wilayah) rukun warga,” terang Yuli menyampaikan hasil pemetaannya. “Dulu sampai ratusan, hampir tiap rumah pengrajin semua.”
Pemetaan itu dilakukan Arkom bersama pemuda karang taruna dan masyarakat desa Jagalan sendiri. Melihat Kota Gede adalah kawasan yang punya potensi heritage, Arkom menggerakan warga desa untuk menggali potensi yang mereka miliki sendiri. Arkom adalah gerakan sosial yang dimotori arsitek-arsitek dan profesional muda yang peduli pada kampung-kampung dan komunitas-komunitas untuk kemajuan bersama.
“Teman-teman pemilik potensi ini tidak tahu apa yang ada di sini, kita interfensi agar potensinya bisa dimaksimalkan untuk mendatangkan income bagi mereka,” jelas Yuli. Dari hasil pemetaan itu diketahui bahwa terus berkurangnya jumlah pengrajin perak asal Kota Gede.
Hal yang sama disampaikan oleh Suwarto, 62 tahun, mantan juragan perak yang dulu mempunyai banyak anak buah. “Sehabis gempa tahun 2006 anak buah saya pamit untuk kerja bangunan,” begitu cerita Suwarto. Gempa itu banyak membuat para pengrajin perak beralih profesi menjadi tukang bangunan. Karena memang banyak bangunan didirikan atau direnovasi yang memerlukan banyak tukang. Selain itu penghasilan yang dijanjikan sebagai tukang bangunan sama bahkan lebih besar.
“Bangun rumah itu satu orang bisa mendapat honor Rp 40.000. Jadi buruh perak mereka dapat Rp25,000-35,000, jelas mereka pindah. Ada yang jadi tukang parkir, tapi kan nggak mikir. Kalau kerja perak pake mikir, sampai malam mereka kerja,” Yuli menjelaskan kenapa banyak yang beralih profesi.
“Kalau kerja bangunan makan disediakan,” jelas Suyoko, 42 tahun, yang telah 24 tahun menjadi pengrajin perak. Itu salah satu keuntungan kerja bangunan, belum lagi tak perlu sampai begadang seperti yang sering dilakukan oleh para pengrajin perak. “Saya bilang ke anak saya kalau sudah besar jangan mau jadi pengrajin perak, cari kerjaan lain saja,” begitu nasihat Suyoko kepada anaknya.
Di sisi lain banyak pengrajin perak dari daerah lain yang hasil kerajinannya memenuhi toko-toko perak yang ada di sana. Mereka berani bersaing dengan mematok upah pekerjaan yang lebih murah. Jadi industri perak Kota Gede yang kelihatannya berkembang dilihat dari bermunculan toko-tokonya tidak diikuti berkembangnya jumlah pengrajin perak asal Kota Gede, khususnya desa Jagalan.
Melihat potensi dan masalahnya lalu Arkom berinisiatif untuk menggali potensi itu sambil ikut memecahkan masalahnya. Kerajinan perak dan kawasan heritage telah teridentifikasi dalam pemetaan mereka, dua hal itulah yang mereka fokuskan.
Untuk awalnya yang ingin digali potensinya adalah pengrajin perak. “Kita ingin mem-branding para pengrajin ini bahwa inilah pengrajin asli Kota Gede. Tetapi mereka mindset-nya masih sebagai buruh. Kita ingin coba geser dari mindset buruh jadi desainer. Karena sebenarnya kemampuan mereka luar biasa,” Yuli menerangkan rencana Arkom.
Lalu mereka pun bekerja sama dengan British Council Indonesia yang kemudian mendatangkan Simon Fraser dan Elizabeth Wright, dua desainer perhiasan kenamaan Inggris. Dua desainer itu memberi pelatihan di Kota Gede kepada para pengrajin pada akhir Maret 2014 yang lalu. Selama lima hari ke 22 pengrajin digembleng. Hasilnya, dari tak percaya diri saat memegang pinsil untuk mensketsa desain sampai kemudian mereka menemukan bahwa sebenarnya selama ini mereka adalah artis dengan kemampuan luar biasa. Karena selama ini mereka diposisikan sebagai buruh maka mereka pun bersikap seperti buruh alias hanya sebagai tukang perak.
Simon dan Elizabeth membimbing mereka menggali identitas Kota Gede dalam karya kerajinan perak mereka. Dari sekedar mengerjakan dari contoh gambar yang diberikan pemesan perhiasan sekarang mereka menggambar sendiri desain kerajinan mereka. Mereka menemukan bahwa ternyata mereka bisa mendesain apalagi ditunjang dengan kemampuan mereka sebagai pengrajin perak.
Darminto, 55 tahun, yang sudah 33 tahun menjadi pengrajin perak menyampaikan bahwa apa yang diberikan dua desainer Inggris itu membuka wawasan, ”Ini baru pertama kali saya mendesain sendiri, selama ini hanya mengikuti permintaan pemesan. Selain itu membuat perhiasan yang ada jatidiri Kota Gedenya,” terangnya berapi-api.
Penulis | : | |
Editor | : | Tabloid Nakita |
KOMENTAR