Dua orang ibu bertanya-tanya kepada National Geographic Traveler yang saat itu menuju ke arah gedung Bentara Budaya Jakarta (BBJ) tentang lokasi berlangsungnya acara diskusi buku Nyai Dasima dari dua tulisan: karya S.M Ardan dan G. Francis. Di tempat pelaksanaan acara, peserta hadir dari berbagai kalangan dan jenjang usia. Sebuah bukti, betapa nama Nyai Dasima mengundang pesona.
Saat acara dimulai, moderator Yahya Andi Saputra dari Lembaga Kebudayaan Betawi melantunkan pantun yang kocak lagi jenaka. Panggung tempatnya menyampaikan paparan juga sarat nuansa Betawi, mulai meja marmer dan kursi pembicara sampai backdrop yang diambil dari sampul novel ini: Nyai Dasima. Ketenaran tokoh yang awalnya ditulis G. Francis berdasar kisah sejati itu terasa di dalam ruangan diskusi, apalagi saat sang moderator mengutip salah satu bunyi teks dalam buku Nyai Dasima, 'Mesemnya legit kaya kue 20 butir telur. Mata bintang kejora."
Kesukaan pada karya sastra memang telah menyatukan para hadirin di Bentara Budaya Jakarta, Selasa petang (15/4). Ibnu Wahyudi, pengamat sastra dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dalam penuturannya di sesi awal diskusi menyebutkan, "Penulis S.M Ardan membuat gugatan atas karya G. Francis tentang Nyai Dasima yang hadir berupa kisah sastra dengan kekuatan pro kolonial. Semua dituliskan hitam putih, dengan orang hitam atau pribumi disebut sebagai kaum "selam". Sedang tokoh prianya, Edward William dari Inggris adalah tuan putih."
Padahal, lanjutnya, sang nyai yang berasal dari Cise'eng memilih meninggalkan si tuan putih dan ternyata ia tidak diterima oleh masyarakat setempat. "Bahkan, istilah bahasa Betawinya, ia diporotin oleh warga pribumi." Kenyataan dalam budaya masyarakat setempat itulah yang kemudian diangkat oleh S.M Ardan saat menulis Nyai Dasima dalam versi baru pada 1960.
Sementara JJ Rizal, sejarawan yang menuliskan pengantar dalam novel Nyai Dasima karya S.M Ardan dan G. Francis dengan penerbit Masup Jakarta mengisahkan alasan tentang pembuatan cetak ulang karya monumental ini. "Saat itu S.M Ardan hampir menginjak usia 75 tahun. Penulis cerpen terkenal Terang Bulan Terang di Kali ini bersemangat mempersiapkan novel Nyai Dasima, hanya dua bulan menjelang kepergiannya."
Novel bertema percintaan, tragedi dan eksotisme ini, menurut Ibnu atau biasa disapa sebagai Iben memang terasa gaungnya sampai kini. "Nyai Dasima adalah novelet Indonesia modern yang pertama, ditulis dalam bahasa Melayu, dengan ejaan latin dan penulisnya bukan anonim, karena G. Francis memang penulis buku," ujarnya.
Pesan moral yang turut disampaikan dalam Nyai Dasima adalah tentang penamaan, julukan, panggilan atau pemberian nama depan "nyai". Konotasi yang timbul beragam: ada yang berkonotasi negatif, dan di sisi lain bernilai positif. Sayangnya, imbuh JJ Rizal, menurut kamus bahasa Indonesia sapaan ini artinya tetap negatif. "Ini menyedihkan," komentarnya. "Karena itu mengapa di hari-hari berikut ini, di mana keberadaan perempuan "dirayakan", termasuk saat menjelang Hari Kartini pada 21 April, kami menggelar acara diskusi buku ini."
Diskusi berlangsung seru. Beragam pertanyaan serta pandangan disampaikan, muaranya adalah kekayaan karya sastra yang melebur dalam kebudayaan kita. Nama 'Dasima' hadir sampai kini, dengan turunan yang bermacam-macam untuk produk seni budaya. Seperti ditafsir ulang untuk sendratari, drama atau teater bahkan sampai tulisan dengan bumbu yang terasa jauh dari versi aslinya.
Lebih unik lagi, nama Nyai Dasima pun merambah bidang kuliner, seperti penamaan makanan, minuman bahkan sampai nama kafe. Kiranya Nyai Dasima ini telah bertransformasi di berbagai sektor, dan memperkaya khazanah sastra Tanah Air. Sore itu, acara bedah buku ini pun seakan memberi energi untuk mengenal kembali tentang kisah seorang perempuan pribumi dari dua versi penulisan: dari sudut pandang warga barat, serta karya penulis Tanah Air sendiri.
Penulis | : | |
Editor | : | Jessi Carina |
KOMENTAR