Matahari pagi mulai menyingkap kelambu bukit-bukit di Taman Nasional Gunung Halimun. Di salah satu kaki bukit, para lelaki berbusana serba hitam dengan ikat kepala telah bersiap dengan tas rotan selempang dan golok.
Mereka berkumpul di tepian Sungai Cimaja untuk menyembelih kerbau jantan dan ayam jago yang sudah direstui semalam oleh Sesepuh Adat. Sebuah upacara tengah dipersiapkan untuk meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH), Kamis, 17 April 2014. Pembangkit itu berkapasitas 100 kwh, yang melayani sekitar 200 rumah.
Bagi masyarakat agraris, alam merupakan sahabat dan sumber kehidupan. Salah satu cara untuk memuliakan aliran sungai-sungai gunung adalah dengan memanfaatkannya sebagai pembangkin listrik, demikian salah satu kearifan warga Kasepuhan Adat Banten Kidul di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Sebagai desa adat, struktur pemerintahan adat mereka tidak tergantung dengan wilayah pemerintahan administratif. Kasepuhan ini mencakup kawasan yang mengelilingi Gunung Halimun yang terbagi atas Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Banten.
Meskipun sebagian kawasan Kasepuhan ini belum dijangkiti tiang-tiang listrik PLN, warga telah berusaha membuat pembangkit listrik secara swadaya murni sejak akhir 1980-an. Awalnya listrik diperoleh dengan turbin kincir kayu yang sederhana—dengan daya kecil. Sejak akhir 1990-an mereka mendapat bantuan dari UNDP dan Kedutaan Besar Jepang untuk membangun pembangkit listrik dengan turbin modern dengan kapasitas daya yang lebih besar di Desa Ciganas, bantaran Sungai Cimaja.
Ciganas merupakan desa di sebuah lembah yang berjarak sekitar sepuluh kilometer di bawah Kasepuhan di Desa Ciptagelar, atau sekitar 20 kilometer dari kawasan pantai Pelabuhan Ratu.
Usai upacara penyembelihan, Abah Ugi dan Mak Alit—bagi warga Kasepuhan dianggap sebagai sesepuh laksana raja dan ratu—bersama beberapa pamong Desa Adat Ciptagelar turun gunung menuju PLTMH Ciganas.
Mereka meresmikan pulihnya PLTMH Ciganas yang tidak berfungsi optimal sejak banjir besar meluapkan sungai desa ini pada awal 2008. Selama setahun terakhir, PT Sumberdaya Sewatama telah turut membantu dalam perbaikan dan pembangunan pembangkit listrik kebanggaan warga desa.
Acara serah terima adat dan pesta rasa syukur atas berfungsinya kembali PLTMH digelar di bendungan Sungai Cimaja. Abah Ugi menyampaikan ungkapan pembuka dalam bahasa Sunda. “Kita berkumpul di bendungan turbin yang dibangun pada masa mendiang Ayah—Abah Anom—pada 1998,” ujarnya. “Kita telah merehab turbin supaya dapat menghasilkan daya maksimal. Semoga turbin ini bisa bermanfaat dan terus dijaga hingga turun ke anak cucu. Dalam menjaga turbin ini memang harus dilakukan bersama-sama.”
Dalam kesempatan yang sama, Hasto Kristiyono selaku Presiden Direktur PT Sumberdaya Sewatama turut memberikan sambutan. “Fasilitas pembangkit listrik ini dibangun kembali sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya. “Kenapa kita tertarik ke sini, karena banyak hal-hal yang sederhana yang terlupakan—misalnya—bagaimana menyimpan beras sampai ratusan tahun, sementara kita sekarang masih impor beras.”
Pendapat Hasto tersebut berdasar kenyataan bahwa warga Desa Ciptagelar, Kasepuhan Banten Selatan, masih menyimpan padi yang berumur sekitar 300 tahun di lumbung padi mereka yang berada di depan rumah Abah Ugi. Warga menyebut lumbung keramat itu dengan ”Leuit Si Jimat”.
Keunikan lainnya, terdapat lebih dari seratus varietas padi yang ditemukan dan hanya tumbuh spesifik di desa tersebut; pun menjual padi adalah hal tabu bagi mereka—sebagai ekspresi hormat mereka atas kedaulatan pangan. Mereka juga mempunyai pasukan pengamanan swakarsa yang berpatroli setiap malam untuk mengamankan hutan adat dari penebangan liar maupun perburuan satwa liar. Singkatnya, segala pengambilan hasil hutan harus mendapat restu dari Abah Ugi.
“Kita melihat kecukupan pangan desa dari Leuit Si Jimat,” ungkap Abah Ugi. "Kita tahu terdapat padi berusia 300 tahun di lumbung itu berdasar penelitian dari Institut Pertanian Bogor. Gizi yang terkandung masih sama dengan padi yang baru. Yang membedakaan adalah warnanya lebih kuning.”
Tatkala ketahanan pangan nasional masih dipertanyakan, warga Desa Ciptagelar telah memberi teladan tentang swasembada pangan bagi kita. “Simpanan di lumbung itu cukup untuk tiga tahun,” ungkapnya. “Tiga tahun kita tidak tanam, kita masih bisa hidup.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR