Nationalgeographic.co.id—Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Kesehatan, 1 dari 3 orang dewasa Indonesia mengalami obesitas, dan 1 dari 5 anak usia 5-12 tahun juga mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Pada umumnya pedoman diet untuk menurunkan berat badan "mengharuskan orang-orang dewasa mengurangi jumlah kalori yang mereka dapatkan dari makanan dan minuman dan meningkatkan jumlah kalori yang dikeluarkan melalui aktivitas fisik."
Pendekatan manajemen berat badan ini didasarkan pada model keseimbangan energi berusia seabad yang menyatakan bahwa penambahan berat badan disebabkan oleh konsumsi lebih banyak energi daripada yang kita keluarkan.
Di dunia sekarang ini, kita dikelilingi oleh makanan olahan yang sangat lezat, dipasarkan dengan harga tinggi, sehingga mudah bagi kita untuk makan lebih banyak kalori daripada yang kita butuhkan. Ketidakseimbangan kalori ini semakin diperburuk oleh gaya hidup kita yang tidak banyak bergerak saat ini. Apalagi di masa pandemi yang mengharuskan banyak orang bekerja dan bersekolah dari rumah.
Dengan pemikiran ini, makan berlebihan, ditambah dengan aktivitas fisik yang tidak mencukupi, mendorong epidemi obesitas. Di sisi lain, meskipun beberapa dekade pesan kesehatan masyarakat mendesak orang-orang untuk makan lebih sedikit dan berolahraga lebih banyak, tingkat obesitas dan penyakit terkait obesitas terus meningkat.
Para peneliti dalam studi bertajuk "The Carbohydrate-Insulin Model: A Physiological Perspective on the Obesity Pandemic" menunjukkan kelemahan mendasar dalam model keseimbangan energi ini. Dalam laporan studi yang telah diterbitkan dalam The American Journal of Clinical Nutrition pada 13 September 2021 itu, mereka menyatakan bahwa model alternatif, yakni model karbohidrat-insulin, lebih baik dalam menjelaskan obesitas dan penambahan berat badan.
Selain itu, menurut mereka, model karbohidrat-insulin juga menunjukkan jalan menuju strategi pengelolaan berat badan yang lebih efektif dan tahan lama.
Baca Juga: Kisah Angus Barbieri, Pria yang Menjalani Puasa Makan Selama 382 Hari
David Ludwig, ahli endokrinologi di Boston Children's Hospital sekaligus profesor di Harvard Medical School, mengatakan bahwa model keseimbangan energi tidak membantu kita memahami penyebab biologis kenaikan berat badan.
"Selama percepatan pertumbuhan, misalnya, remaja dapat meningkat asupan makanan sebesar 1.000 kalori per hari. Tetapi apakah makan berlebihan mereka menyebabkan percepatan pertumbuhan atau apakah percepatan pertumbuhan menyebabkan remaja menjadi lapar dan makan berlebihan?" ujar Ludwig yang menjadi penulis utama dalam studi terbaru ini, sebagaimana dikutip dari laman resmi American Society for Nutrition.
Berbeda dengan model keseimbangan energi, model karbohidrat-insulin ini membuat klaim yang berani bahwa makan berlebihan bukanlah penyebab utama obesitas. Sebaliknya, model karbohidrat-insulin banyak menyalahkan epidemi obesitas saat ini pada pola makan modern yang ditandai dengan konsumsi makanan dengan beban glikemik tinggi yang berlebihan. Khususnya, makanan karbohidrat olahan yang cepat tecerna.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Obat yang Bisa Turunkan Berat Badan Secara Dramatis
Menurut model alternatif ini, makanan ini menyebabkan respons hormonal yang secara mendasar mengubah metabolisme kita. Secara spesifik, makanan ini mendorong penyimpanan lemak, penambahan berat badan, dan obesitas.
Ketika kita makan karbohidrat olahan, tubuh meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon. Ini, pada gilirannya, memberi sinyal pada sel-sel lemak untuk menyimpan lebih banyak kalori, meninggalkan lebih sedikit kalori yang tersedia untuk bahan bakar otot dan jaringan aktif metabolik lainnya.
Otak merasakan bahwa tubuh tidak mendapatkan energi yang cukup, yang pada gilirannya menyebabkan rasa lapar. Selain itu, metabolisme dapat melambat dalam upaya tubuh untuk menghemat bahan bakar. Dengan demikian, kita cenderung tetap lapar, bahkan ketika kita terus mendapatkan kelebihan lemak.
Baca Juga: Para Ilmuwan Temukan Lemak Pada Paru-paru Orang Kelebihan Berat Badan
Untuk memahami epidemi obesitas, kita perlu mempertimbangkan tidak hanya berapa banyak yang kita makan, tetapi juga bagaimana makanan yang kita makan memengaruhi hormon dan metabolisme kita. Karena menanggap bahwa semua kalori dari bebagai jenis makanan itu sama bagi tubuh, model keseimbangan energi melewatkan bagian penting dari teka-teki ini.
Adopsi model karbohidrat-insulin atas model keseimbangan energi memiliki implikasi radikal untuk manajemen berat badan dan pengobatan obesitas. Daripada mendesak orang untuk makan lebih sedikit, sebuah strategi yang biasanya tidak berhasil dalam jangka panjang, model karbohidrat-insulin menyarankan jalan lain yang lebih berfokus pada apa yang kita makan.
Menurut Ludwig, "mengurangi konsumsi karbohidrat cepat tecerna yang membanjiri pasokan makanan selama era diet rendah lemak mengurangi dorongan yang mendasari untuk menyimpan lemak tubuh. Akibatnya, orang-orang dapat menurunkan berat badan dengan lebih sedikit rasa lapar dan perjuangan."
Para peneliti dalam studi terbaru ini mengatakan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguji kedua model itu secara meyakinkan. Bahkan, menurut mereka, penelitian di masa depan mungkin bisa menghasilkan model baru yang lebih baik lagi, yang lebih sesuai dengan bukti-bukti ilmiah yang ada.
Baca Juga: Tinggal di Jakarta Meningkatkan Risiko Penyakit Diabetes, Mengapa?
Source | : | nutrition.org |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR