Setelah itu, Pemda Belu pada 2010 membangun kembali lima unit, termasuk bekas rumah rajanya. Itu berarti, perkampungan tua Nualain kini memiliki tujuh rumah adat atau masih kekurangan setidaknya 25 unit dari seharusnya.
Membangun kembali rumah adat membutuhkan biaya tidak sedikit. Setiap unitnya membutuhkan sedikitnya Rp60 juta. ”Membangun kembali seluruh rumah adat itu tentu sulit kalau berharap dari kemampuan kami. Kami tetap mengharapkan perhatian dan dukungan pemerintah untuk merampungkan pembangunan kembali rumah adat tersisa meski bertahap,” tutur Yosep Mau, yang juga Ketua Dusun Nualain.
Entah kapan rumah adat dapat dibangun kembali. Karena itu pula belum bisa dipastikan kapan akan digelar lal belis, yakni ritual yang menandai pemanfaatan kembali rumah adat tersebut.
Sekadar diketahui, kawasan Lamaknen dan sekitarnya sehari-hari menggunakan dua bahasa ibu, yakni marae dan tetun. ”Kalau lal belis itu bahasa marae, sedangkan dahur uma lulik dari bahasa tetun. Dua istilah bermakna sama,” kata Romo Maxi Un Bria Pr, rohaniwan Katolik asal Belu.
Ritual lal belis atau dahur uma lulik dipastikan akan dihadiri seluruh rumpun keluarga Nualain. Rumpun keluarga itu terutama menyebar di tapal batas wilayah NTT di Lamaknen dan sekitarnya juga di sekitar tapal batas wilayah Timor Leste.
Ritual itu sangat dinantikan. Selain menyaksikan lagi kampung adat, ritual itu juga sebagai kesempatan reuni dengan keluarga dari Timor Leste.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR