Seperti rumah adat atau ume leu Tes di Kabupaten Timor Tengah Utara, kampung tua Nualain di Kecamatan Lamaknen Selatan pun berada di sekitar tapal batas. Bedanya, Nualain berada di sebelah timur Kabupaten Belu yang berbatasan dengan wilayah utama ujung barat negara Timor Leste.
Nualain adalah satu dari sejumlah kampung tua di Belu. Posisinya sekitar 80 kilometer arah selatan Atambua, Nusa Tenggara Timur.
Bepergian dari Atambua hingga puncak bukit Nualain melintasi jaringan jalan beraspal mulus hingga sejauh 65 kilometer atau berujung di Welulik. Lalu, menerobos medan berat. Sebagian jaringan jalannya masih berupa jalan tanah dan sisanya pengerasan. Jika bepergian selama musim hujan, kondisi fisik harus fit dan mobil yang digunakan bergardan ganda karena harus menerobos medan berlumpur, licin, dan sempit.
Seperti kampung tua lainnya, Nualain tumbuh di antara bongkahan batu di puncak bukit. Sekitar tujuh rumah berarsitektur unik dan beratap ilalang kondisinya masih asli.
Di puncak kampung tumbuh kokoh, anggun, dan terjaga pohon berusia tua bernama pur atau sebangsa beringin. Di sekitarnya tetap bertahan setidaknya tiga mazbah dari susunan batu berusia sangat tua sebagai tempat sesajen bagi leluhur.
Tetua Nualain, Antonius Mau (52), mengakui, berada di puncak kampung tua itu tidak jarang mendapat tanda sebagai isyarat akan terjadi sesuatu yang menimpa warga lingkungan keluarga. Salah satu contohnya adalah tanda khusus adanya anggota keluarga yang akan meninggal. ”Tandanya berupa suara panggilan atau lemparan kerikil ke arah atap rumah. Biasanya hanya sekali atau tidak berulang,” kata Antonius Mau di Nualain, pekan ketiga Maret.
Tetua lainnya, Yoseph Mau (57), mengisahkan, Nualain adalah bekas istana Kerajaan Nualain. Raja terakhir, Melkhior Asa Tuan, yang meninggal dalam usia 66 tahun pada 31 Desember 1997, jenazahnya dimakamkan di atas gundukan batu di depan rumah raja. ”Dia raja terakhir yang sangat dihormati dan disegani di Lamaknen, bahkan di Belu,” kenang Mau.
Terbakar
Nualain, yang kini menjadi situs budaya Belu, aslinya didukung 32 rumah, mulai dari rumah raja yang disebut gamal mone sogho. Lainnya, kediaman wakil raja atau gamal mone walu dan kediaman panglima perang yang disebut gamal subha. Masing-masing dengan perangkat pendukungnya, dengan kediaman khusus.
Warga ahli warisnya setiap tahun menggelar berbagai ritual. Misalnya, tuwi lai, ritual khusus menjelang musim tanam jagung dan padi. Ritual itu ditandai kegiatan berburu babi hutan yang melibatkan hampir seluruh warga kampung.
Hasil tangkapan diarak hingga arena khusus pementasan di depan mazbah di puncak kampung Nualain. Perarakan dimeriahkan dengan musik suling. Selain itu, keluarga juga tetap setia menggelar paol son, ritual penyerahan jagung terbaik ke rumah adat. Ritual yang juga menandai persembahan sebagai pernyataan rasa syukur kepada leluhur, lazimnya disemarakkan melalui tarian khusus.
Seperti diakui sejumlah tetua, rumpun keluarga pendukung rumah adat Nualain sebagian menyebar di sejumlah perkampungan di Lamaknen dan sekitarnya. Sebagian lainnya di wilayah Timor Leste. ”Saat ritual adat utama atau kedukaan, perwakilan keluarga dari Timor Leste pasti hadir,” kata tetua lain, Viktor A Lesu, yang tiga dari enam anaknya kini menetap di Timor Leste.
Lima tahun lalu, petaka kebakaran menimpa perkampungan adat Nualain. Api melalap bangunan dari kayu dan beratap ilalang itu. Upaya warga memadamkan api hanya berhasil menyelamatkan dua rumah.
Setelah itu, Pemda Belu pada 2010 membangun kembali lima unit, termasuk bekas rumah rajanya. Itu berarti, perkampungan tua Nualain kini memiliki tujuh rumah adat atau masih kekurangan setidaknya 25 unit dari seharusnya.
Membangun kembali rumah adat membutuhkan biaya tidak sedikit. Setiap unitnya membutuhkan sedikitnya Rp60 juta. ”Membangun kembali seluruh rumah adat itu tentu sulit kalau berharap dari kemampuan kami. Kami tetap mengharapkan perhatian dan dukungan pemerintah untuk merampungkan pembangunan kembali rumah adat tersisa meski bertahap,” tutur Yosep Mau, yang juga Ketua Dusun Nualain.
Entah kapan rumah adat dapat dibangun kembali. Karena itu pula belum bisa dipastikan kapan akan digelar lal belis, yakni ritual yang menandai pemanfaatan kembali rumah adat tersebut.
Sekadar diketahui, kawasan Lamaknen dan sekitarnya sehari-hari menggunakan dua bahasa ibu, yakni marae dan tetun. ”Kalau lal belis itu bahasa marae, sedangkan dahur uma lulik dari bahasa tetun. Dua istilah bermakna sama,” kata Romo Maxi Un Bria Pr, rohaniwan Katolik asal Belu.
Ritual lal belis atau dahur uma lulik dipastikan akan dihadiri seluruh rumpun keluarga Nualain. Rumpun keluarga itu terutama menyebar di tapal batas wilayah NTT di Lamaknen dan sekitarnya juga di sekitar tapal batas wilayah Timor Leste.
Ritual itu sangat dinantikan. Selain menyaksikan lagi kampung adat, ritual itu juga sebagai kesempatan reuni dengan keluarga dari Timor Leste.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR