Aktivitas Gunung Ijen yang mempunyai daya tarik "api biru" meningkat sejak beberapa hari terakhir. Akibatnya, pengunjung dilarang mendekati radius 1 kilometer dari kawah Gunung Ijen, terutama pada malam hari.
"Pelarangan dilakukan sejak Selasa (6/5) saat muncul gelembung besar yang mengandung gas CO dan bersifat racun. Gas ini yang berbahaya jika dihirup oleh makhluk hidup. Aktivitas Gunung Ijen meningkat sejak 31 Mei 2014 dan terlihat dari aktivitas tremor yang fluktuatif," jelas Bambang Hery Purwanto, Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Ijen, Jumat (9/5).
Menurut catatan Hery, warna danau kawah masih hijau tosca. Namun suhu permukaan kawah mencapai 46 derajat celcius. Sedangkan pada kedalaman 5 meter, suhu danau kawah meningkat dari 36 derajat celcius menjadi 42 derajat celcius.
"Beberapa hari ini suhu meningkat sehingga direkomendasikan radius 1 kilometer steril dari pengunjung, pendaki dan juga penambang. Sedangkan luas untuk gelembung putih mencapai 10 meter," katanya.
Hery juga menambahkan, seharusnya pelarangan pendakian bukan hanya pada malam hari, tetapi juga siang hari.
"Tapi kami hanya bisa memberikan rekomendasi. Namun gas CO yang dikeluarkan oleh gelembung akan hilang karena terurai sinar matahari. Namun yang bahaya ya malam hari. Nah, kebiasaan pengunjung naik pada tengah malam untuk melihat 'si api biru," ungkapnya.
"Jika gas beracun terhisap pendaki maka bisa mengakibatkan kematian. Namun untuk penambang biasanya mereka sudah paham fenomena di puncak Ijen," tambah Hery.
Hery sendiri mengatakan, sebenarnya status Gunung ijen waspada III sejak 26 Agustus 2013 lalu dan sebelumnya pernah meningkat menjadi Siaga (level III) sejak 24 Juli 2012.
"Tercatat sejak 18 Desember 2011 status Gunung Ijen dinaikkan dari waspada (level II) dan turun pada 13 Mei 2012. Memang seharusnya tidak dilakukan pendakian, tetapi kami sadar Gunung Ijen saat ini banyak dikunjungi wisatawan, dan seharusnya ada langkah antisipasi dari pihak pemerintah agar tidak terjadi korban," pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR