“Itu Sibira di utara kita!” teriak Pendi dari ujung haluan perahu, sambil matanya menatap cakrawala. Samar-samar tampak gugus sebuah pulau di antara buih gelombang.
Pendi memang bukan wajah baru bagi penduduk pulau yang dalam jajaran Dinas Perhubungan Laut lebih dikenal sebagai Pulau Jaga Utara, mengingat pulau ini memang ‘penjaga’ paling utara dari perairan Teluk Jakarta.
Pendi setidaknya sudah lebih lima kali bolak balik melayari rute ini. Tempat-tempat yang dulu senyap, kini bersalin rupa jadi lokasi wisata yang ramai. Perubahan mencolok terjadi pada pesisir Teluk Jakarta.
Pulau Bidadari yang dulu relatif sepi, kini sudah mirip pinggan berisi cendol. Padat wisatawan domestik, tak cuma di hari Sabtu dan Minggu. Pulau Kelor dan Pulau Ubi yang dulu ditinggalkan penghuninya karena tergerus abrasi, dan sempat jadi tempat pengasingan para penyandang kusta, kini cagar budaya itu malah jadi daerah tujuan wisatawan yang ingin berfoto pre-wedding dengan latar belakang bangunan-bangunan benteng tua. Bahkan pesta perkawinan aktris ibukota digelar di situ baru-baru ini.
Nama Sibira sendiri tidak asing di telinga. Sejak kecil, saat diajak ayah-ibu ‘piknik’ ke oseanorium Pasar Ikan, atau saat mincing kepiting di rawa-rawa yang kini bernama Taman Impian Jaya Ancol, sering terbetik nama Sibira dalam obrolan orang pesisir.
Bagi warga Sibira, pulau terpencil seluas 9 hektare, atau sekitar delapan kali luas lapangan sepak bola itu, jarang sekali orang luar singgah.
“Sibira kini sudah berbeda, jauh lebih maju dari 23 tahun lalu. Ingat kan? Dulu sepi banget. Sampan cuma beberapa buah. Rumah-rumah mirip gubuk punggung, dinding gedhek atap kraras kelapa. Penduduk cuma beberapa puluh, jarang orang luar datang. Sampai-sampai saat kita mampir, semua penduduk di pantai menyambut seperti kedatang rombongan raja,” kenang Pendi, tertawa.
Saya ingat tanggal 2 September 1990, saat Pendi mengajak mampir ke Sibira, banyak penduduk belum pernah melihat wujud kereta api, Monas, ataupun gajah di Kebun Binatang Ragunan. Jangankan melihat langsung benda-benda modern tersebut, bahkan rumah jaga mercusuar pun belum dilengkapi inventaris pesawat televisi hitam-putih.
“Saya pernah lihat gambar gajah dan Monas dari kalender bekas,” ucap seorang anak.
Jakarta memang bukan cuma kawasan real-estate Pondok Indah ataupun keramaian Jalan Thamrin. Sibira jauh terpencil di utara Jakarta, rindu ada dokter tinggal di pulau itu. Sibira rindu listrik masuk desa. Sibira belum pernah melihat wajah gubernurnya.
Eksodus
Bagaimana pulau kosong ini bisa jadi salah satu pulau berpenghuni di Kepulauan Seribu? Mercusuar dan para petugas jaga memang telah lebih dulu memposisikan keberadaan dirinya di pulau. Tapi warga ber-KTP DKI baru tinggal di Sibira tahun 1970-an, saat serombongan nelayan eksodus dari Pulau Genteng (sekitar enam jam berlayar dari situ) dan memilih Sibira sebagai kampung halaman baru.
Mereka datang dalam rombongan pertama sekitar 40 keluarga. Ada beberapa alasan eksodus. Sebagai tempat bermukim, Pulau Genteng terasa makin sempit.
Kandungan air tanah tawar di Sibira berkait erat dengan ekosistem setempat. Seperti umumnya pulau-pulau yang berserakan di Teluk Jakarta, Sibira bermula dari sebentuk beting karang yang dipengaaruhi iklim musim dan pola arus laut. Ia tumbuh jadi pulau karena adanya proses lapuk-lekang dari sedimentasi yang hanyut terbawa arus tujuh sungai di lembah Jakarta yang bermuara di teluk itu.
Melalui evolusi alam, SIbira tumbuh sebagai pulau mandiri, lengkap dengan ekosistemnya. Ada pohon-pohon katang atau tapak kuda menutupi berbagai belahan pasir paantai berpadu semak di humus tanah lebih tinggi, membentuk hutan dan pohon-pohon besar yang tak sekadar berfungsi sebagai peneduh dan produsen hawa segar, tapi juga pemilik belitan akar yang dengan solid mencengkeram tanah sekaligus penangkap air hujan.
“Di sini, pohon kayu haram ditebang!” ucap seorang warga. Ini tak ada kaitan dengan kebijakan pemerintah yang pada masa itu pun sudah gencar memasyarakatkan gerakan pelestarian alam.
Jauh sebelum pamflet kementerian lingkungan hidup tertempel di dinding kantor mercusuar, larang penebangan pohon sudah jadi konsensus adat di Sibira. Dengan kearifan lokal itu, pohon-pohon tetap lestari, tumbuh dan besar, akhirnya jadi faktor penentu cadangan air tawar di lapisan tanah yang ditempati warga.
Rezeki laut
Lantas, bagaimana warga Sibira tahun 1990-an membangun rumah, padahal pohon besar tabu ditebang? Dari mana bilah-bilah kayu dan balok didapat buat rangka dan tiang pancang?
Pak Nurdin, seorang warga, terkekeh seraya menunjuk ke arah laut lepas sebagai jawabannya. “Itu rezeki dari laut,” tegasnya.
Hingga hari ini, laut sungguh pemasok utama kayu-kayu bangunan rumah di Sibira. Jauh dari mana-mana, dengan sistem transportasi yang nyaris belum ada, umumnya warga membangun rumah dengan material apa adanya. Kayu-kayu bekas perahu, atau batang bambu bekas pancang bagan penangkap iklan, biasa dimanfaatkan sebagai bahan.
Cuma sebagian kecil bahan didatangkan dari dataran Jakarta: atap seng, tali ijuk pohon aren, dan paku. Selebihnya? Cari dan kumpulkan dari laut.
Letak yang menonjol sendiri di tengah hamparan laut, membuat Sibira sering menjadi daerah terdamparnya berbagai material yang hanyut di laut. Tak cuma barang-batang pohon dari pesisir lain, juga kayu-kayu yang tumpah dari kapal yang pecah atau karam di sekitar Selat Karimata, utara Sibira. Kayu-kayu itu yang umum dipungut nelayan, ditarik ke pulau, dikumpulkan dan bila telah cukup, dibangun rumah secara gotong-royong.
Selepas akhir milenium kedua Masehi, Kepulauan Seribu berubah statusnya jadi kabupaten administratif dari Provinsi DKI Jakarta. Gerakan pembangunan tentu juga berimbas ke Sibira yang kini telah terang-benderang, dinding-dinding rumah sudah bertembok.
Kehidupan jauh lebih baik, tutur Pendi. Dua malam istirahat di Sibira, Pendi kembali seorang diri melayarkan Jukung Lintas Nusa, menuju pesisir Sumatra Selatan.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR