Ada tiga masalah yang membuat kota Bogor gagap dalam menghadapi perubahan zaman yang sangat dinamis. Pertama, masyarakat yang tidak peduli akan perkembangan kota dan sekitarnya, kedua birokrat bermental feodal dan korup, ketiga tata ruang yang amburadul.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengidentifikasi masalah utama kota Bogor dalam menghadapi kota lainnya menjadi kota layak huni dalam kepemimpinan wali kota baru Bima Arya Sugiarto, Minggu (18/5).
"Penghambat utama adalah masyarakat Bogor sendiri yang tidak peduli nasib kotanya. Buang sampah sembarangan, berperilaku lalu lintas tidak tertib dan tidak punya kehendak untuk maju. Terlalu nyaman dengan keadaan sekarang," urai Yayat.
Bagaimana Bogor mau maju, kata Yayat, bila masyarakatnya saja sudah apatis dan inferior. Padahal warga kota lain bersemangat untuk melakukan perubahan seperti bersih-bersih kota, menggalakkan aktivitas komunitas, melibatkan diri dalam setiap rencana kebijakan atau program pemerintah kotanya.
"Penyakit kedua adalah sistem dan mesin birokrasi pemerintah kota Bogor yang tidak kunjung berubah. Siapa pun walikotanya, bila mesin birokrasinya dipenuhi personal-personal yang berorientasi uang maka sulit untuk maju dan menjalankan transformasi. Pejabat-pejabat dan pegawai Pemkot Bogor takut zona nyamannya tercerabut kalau sistem birokrasi diubah menjadi efektif dan profesional. Mereka banyak yang berjuang mengamankan proyek dan izin tata ruang warisan pimpinan lama," panjang lebar Yayat menjelaskan.
Birokrat Pemerintah Kota Bogor sangat feodal dan korup. Selain itu, malas, tidak punya inisiatif, lambat dalam bekerja. "Mereka tidak memiliki visi untuk membawa kota dan warganya bisa bersaing secara positif dengan kota lainnya. Betapa tidak, pagi masuk kantor langsung baca koran, main game dan kemudian pulang sebelum matahari terbenam. Padahal masalah kota Bogor sudah telanjur banyak. Seharusnya mereka sudah tau masalah, sudah punya solusi dan segera memperbaiki. Warisan negatif pemerintahan lama yang menggunung membuat daya saing Bogor sangat rendah," papar Yayat.
Masalah krusial berikutnya adalah tata ruang amburadul yang dipicu pembiaran dan pemberian izin tak terkendali sehingga Bogor tumbuh menjadi kota di luar identitasnya sebagai kota taman dan kota wisata yang nyaman.
"Celakanya, izin diberikan berikut perubahan peruntukan. Lazim terjadi konversi ruang terbuka hijau menjadi properti komersial pusat belanja, hotel atau ruko. Jadi, pemimpin sekarang harus membuat skala prioritas membenahi kota Bogor," tandasnya.
Skala prioritas tersebut adalah pelibatan partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan melalui proses demokrasi. Berikutnya, imbuh Yayat, menata jaringan transportasi terintegrasi, penataan sektor ekonomi informal, pasar dan sektor lainnya serta penataan kawasan pertumbuhan baru.
"Ketiga mendisiplinkan birokrat dengan budaya kerja kreatif dan inovatif. Tumbuhkan kompetisi untuk menciptakan etos kerja produktif. Bila perlu beri sanksi tegas kalau ada birojrat yang kerja seenaknya. Kemudian melakukan sinergi dengan pemerintah kota lain dan pemerintah pusat. Sebab cukup banyak wilayah administrasi dan wilayah kerja yang menjadi kewenangan pusat dan bersama. Hidupkan koordinasi dan komunikasi yang efektif. Bukan sendiri-sendiri," pungkas Yayat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR