Satu dari empat wanita di Asia Timur dan Pasifik membiarkan kekerasan baik fisik ataupun seksual terhadap perempuan itu sendiri. Perlu adanya aturan tegas agar kekerasan ini tidak dibiarkan terus terjadi berlarut-larut.
Sebuah laporan Bank Dunia terbaru menyatakan, 30 persen perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual di wilayah Asia Timur dan Pasifik, dengan presentase tinggi mencapai 64 persen di Kepulauan Solomon.
Direktur Bank Dunia untuk Urusan Gender dan Pembangunan, Jeni Klugman, mengatakan setengah dari perempuan di negara-negara di wilayah tersebut mendukung kekerasan terhadap diri mereka sendiri atau rekan-rekan mereka.
Alasan-alasan sepele, seperti membakar makan malam, kembali ke rumah terlambat atau menolak seks perkawinan telah menyulut maraknya kekerasan terhadap perempuan tersebut. "Sikap seperti ini dilakukan oleh perempuan itu sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan laki-laki mungkin lebih tinggi. Ini jelas merupakan aspek penting dari agenda yang akan dibahas," kata Klugman.
Menurut Klugman, masalahnya sudah cukup besar, sehingga memerlukan tindakan segera. "Saya rasa tingkat kekerasan yang kita lihat di seluruh dunia ini bisa digambarkan sebagai sebuah epidemi," tambahnya.
Laporan itu menemukan bahwa 75 negara kini mengakui pemerkosaan dalam pernikahan, sementara empat puluh tahun lalu, tidak ada negara yang mengakui jenis pemerkosaan ini sebagai tindak kejahatan.
"Kami melihat ada beberapa perubahan dari waktu ke waktu, termasuk di negara-negara maju. Saya pikir undang-undang yang kuat merupakan langkah awal yang penting, walaupun tentu saja masih ada hal lain yang perlu dilakukan," jelas Klugman.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR